Mohon tunggu...
Moch Aviv
Moch Aviv Mohon Tunggu... -

Tunggal guru ojo ganggu Tunggal ilmu ojo niru

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Ubur-ubur, Potensi yang Terkubur*

20 November 2009   14:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:15 1287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peran warna telah dimanfaatkan secara luas dalam mengekspresikan sesuatu. Dalam dunia burung, burung jantan senantiasa memiliki warna yang beraneka, berkilau dan lebih indah daripada burung betina. Hal ini penting untuk menarik perhatian burung betina ketika musim kawin tiba. Alam beserta isinya termasuk binatang dan mikroba dengan kelengkapannya menyediakan kemudahan dalam analisa bioteknologi. Kemudahan tersebut digunakan manusia dengan memanfaatkan beberapa binatang dan mikroba yang memiliki kemampuan menghasilkan warna atau bisa memancarkan cahaya (berpendar) dengan warna tertentu. Apalagi yang masih tersembunyi di balik sistem fisiologi dan biologi manusia? Siapa yang menyangka penyakit di balik kepala kita dapat dilongok dan langsung diikuti perkembangannya? Siapa sangka perkembangan tumor kanker dapat diikuti dari saat ke saat. Semua itu kini menjadi mungkin karena sudah ada protein yang berpendar berwarna-warni. Istilah bioluminescence sering digunakan untuk mendefinisikan kemampuan berpendar ini. Contoh mikroba yang memiliki kemampuan menghasilkan warna adalah Escherichia coli, sedangkan binatang yang memiliki bioluminescence diantaranya firefly (kunang-kunang), jellyfish (ubur-ubur) dan ikan laut-dalam seperti anglerfish. Plankton, gurita dan cumi-cumi tertentu juga memiliki kemampuan berpendar. Sedangkan dari jenis mikroba, bioluminescence dimiliki oleh kebanyakan anggota dari famili Vibrionaceae. Namun perlu diingat bahwasanya kemampuan menghasilkan warna atau pun sifat luminescence tersebut tidak digunakan secara langsung, tetapi melalui teknik isolasi gen yang mengkodenya. Dan telah ditemukan bahwa gen yang mengkode kemampuan menghasilkan warna pada E. coli adalah GUS (beta-glucuronidase), sedangkan kemampuan berpendar pada kunang-kunang dikode oleh LUC (luciferase), dan pada ubur-ubur dikode oleh GFP (green fluorescent protein). Puluhan ribu protein yang beragam terdapat di dalam tubuh makhluk hidup. Protein-protein ini mengendalikan proses-proses kimia penting secara detail.Bila mesin protein ini malfungsi, biasanya disusul dengan jatuh sakit. Itu sebabnya, biosains merasa perlu memetakan berbagai protein yang ada dalam tubuh. Protein yang semula hanya ditemukan warna hijau itu kini menjadi salah satu alat yang amat bermanfaat di bidang biosains. Protein warna-warni yang pada awalnya hanya ditemukan warna hijau ini memiliki sebutan GFP atau protein pendar hijau. Protein itu kini menjadi pemandu yang amat penting bagi para ahli biokimia, biologi, ilmuwan kedokteran, dan peneliti-peneliti lainnya. Protein berpendar hijau berperan penting dalam riset kedokteran dan biologi karena memungkinkan para ilmuwan mengetahui bagaimana fungsi organ, penyebaran penyakit, dan respons sel-sel yang terinfeksi terhadap suatu perlakuan. Pemurnian dan karakterisasi GFP dari ubur-ubur Aequorea victoria dilakukan pertama kali oleh ilmuwan Jepang Osamu Shimomura pada tahun 1962 yang terdampar di pantai barat Amerika Utara setelah diekstraksikan dari 10.000 ubur-ubur. Bersama rekan-rekan satu timnya menemukan bagian-bagian protein yang bertanggung jawab soal urusan pendar (otomatis bercahaya terutama di kegelapan). Pendar kehijauan itu muncul jika terkena sinar ultraviolet. Namun kegunaannya sebagai alat deteksi biologi molekuler masih belum jelas sampai pada awal tahun 1992. Bagian itu disebut chromophore—sekelompok zat kimia yang mampu menyerap dan memancarkan cahaya. Teknologi yang menggunakan GFP ini membantu kita menyaksikan pertumbuhan tumor ganas kanker, perkembangan penyakit Alzheimer pada otak, atau perkembangan bakteri patogenik. Bayangkan, dengan GFP kita mampu mengikuti pertumbuhan sel-sel secara individu, padahal tubuh kita terdiri dari triliunan sel dengan beragam tugas dan fungsinya. Douglas Prasher melaporkan keberhasilannya dalam mengkloning dan mendapatkan sekuen nukleotida GFP [9]. Keberhasilan kloning tersebut dilanjutkan dengan aplikasi GFP pada dua sistem organisme prokaryotik (bersel tunggal) dan eukaryotik (multi sel/organisme tingkat tinggi). Organisme prokaryotik yang digunakan adalah Escherichia coli, sedangkan organisme eukaryotiknya adalah cacing dari filum nematoda (cacing gelang) yaitu Caenorhabditis elegans. Hasilnya sangat memuaskan. Ekspresi GFP cukup stabil pada kedua sistem tersebut. Akhir-akhir ini, GFP fusion system digunakan untuk mengetahui ekspresi (localization) suatu gen dengan menggunakan onion epidermal cells atau protoplast. Pada umumnya promoter yang dipakai untuk GFP fusion adalah 35S sehingga konstruk akhir menjadi p35S:gen/cDNA:GFP. Ekspresi yang muncul tersebut sering disebut dengan transient expression dari suatu gen. Pengembangan Adapun Chalfie yang lahir pada 1947 lalu adalah seorang profesor biologi di Universitas Columbia, AS. Ia melanjutkan apa yang telah dimulai Shimomura. Chalfie membantu penemuan gen yang mengendalikan GFP dan menemukan cara untuk memasukkan gen tersebut ke tubuh Caenorhabditis elegans atau cacing gelang. Idenya adalah menghubungkan gen GFP dengan berbagai pemicu gen akan memungkinkan dirinya melihat di mana protein-protein yang berbeda dihasilkan. Dalam satu dekade terakhir, GFP telah berfungsi sebagai bintang pembimbing bagi ahli biokimia, ahli biologi, ilmuwan kedokteran, dan peneliti-peneliti lainnya. Protein ini telah menjadi salah satu dari alat yang paling penting yang digunakan dalam biosains kontemporer. Penelitian lanjutan atas GFP telah berhasil dimanfaatkan sebagai alat pencari dan pengikat pada biosains.Dengan menggunakan teknologi deoxyribo nucleic acid (DNA), para ilmuwan tersebut mampu menghubungkan GFP pada protein-protein lainnya. Gen untuk menciptakan GFP disuntikkan ke dalam DNA hewan-hewan percobaan, bakteri, atau sel-sel lainnya. Protein tersebut akan berpendar di bawah paparan sinar ultraviolet. Para peneliti memanfaatkan GFP untuk mengamati proses-proses dalam tubuh yang semula tak terlihat. Misalnya, perkembangan sel-sel saraf di dalam otak atau bagaimana penyebaran sel kanker. Bahkan kini para peneliti dapat mengikuti "nasib" berbagai jenis sel dengan bantuan GFP. Misalnya, sel saraf yang rusak pada penyakit Alzheimer, atau bagaimana sel beta penghasil insulin terbentuk di pankreas saat pertumbuhan embrio (bakal bayi). Para peneliti menciptakan brainbow, yakni mereka berhasil memberi warna yang berubah-ubah pada sel-sel saraf yang berlainan dalam otak seekor tikus. Warna-warna selain hijau ditemukan Roger Y Tsien. Dia juga menemukan penjelasan mengapa GFP bisa bersinar di kegelapan (fluorescents). Tsien lalu melengkapi tahap terakhir penelitian. Dengan menggunakan teknologi DNA, profesor di Universitas California itu menukar beragam asam amino di dalam bagian-bagian yang berbeda GFP. Hal itu memungkinkan protein menyerap dan mengeluarkan cahaya. Pria yang lahir 56 tahun lalu itu kemudian mengembangkan varian baru GFP yang dapat berpendar lebih terang dan dengan warna yang berlainan. *)Dari berbagai sumber

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun