Berkaitan dengan risiko kredit dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 di atas Bank diwajibkan mempunyai cadangan berupa cadangan umum dan cadangan khusus dengan membentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva (PPA) terhadap aktiva produktif dan aktiva non-produktif. Cadangan umum ditetapkan paling kurang 1 % (satu perseratus) dari aktiva produktif yang memiliki kualitas status lancar. Sedangkan cadangan khusus ditetapkan paling kurang sebesar: a) 5 % (lima perseratus) dari aktiva dengan kualitas dalam perhatian khusus setelah dikurangi nilai agunan, b) 15 % (lima belas perseratus) dari aktiva dengan kualitas kurang lancar setelah dikurangi nilai agunan, c) 50 % (lima puluh perseratus) dari aktiva dengan kualitas diragukan setelah dikurangi nilai agunan, dan d) 100 % (seratus perseratus) dari aktiva dengan kualitas Macet setelah dikurangi nilai agunan.
Dengan adanya peristiwa bencana alam, selayaknya kredit yang terkena dampak langsung dari bencana dilakukan hapus tagih dengan persyaratan bencana tersebut harus dinyatakan dalam keputusan pemerintah sebagai bencana nasional. Mengingat saat ini Indonesia telah memiliki Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dalam Pasal 5 menyebutkan Pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggungjawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 Ayat 2, memuat indikator yang meliputi: a) jumlah korban; b) kerugian harta benda; c) kerusakan prasarana dan sarana; d) dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan. Sehubungan dengan itu, berdasarkan Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana, Pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan dan memberikan bantuan bencana kepada korban. Bantuan bencana dimaksud terdiri dari: a) santuan duka cita, b) santunan kecacatan, c) pinjaman lunak untuk usaha produktif; dan d) bantuan pemenuhan kebutuhan dasar. Sedangkan pinjaman lunak untuk usaha produktif diberikan dalam bentuk kredit usaha produktif dan kredit pemilikan barang modal. Dengan demikian bank dapat memberikan kredit baru bagi debitur yang terkena dampak bencana alam.
Faktor non-hukum dalam diskursus ini adalah keberpihakan pemerintah khususnya pemerintah Keberpihakan pemerintah terhadap korban bencana merupakan bentuk implementasi Negara kesejahteraan (welfare state). Faktor non-hukum ini diterapkan ketika penyelesaian kredit bermasalah tidak memberikan kepastian hukum bagi debitur karena tidak menjamin penghapusan hutangnya.
Bukti diterapkannya faktor non-hukum adalah pada peristiwa gempa bumi di Yogyakarta tahun 2006 di mana Gubernur Yogyakarta mengajukan permohonan penghapusan hutang kredit macet bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Permohonan tersebut diteruskan kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang kemudian disetujui oleh Menteri BUMN sehingga dilakukan penghapusan hutang kredit bagi bank-bank Pemerintah dengan mekanisme korporasi. Penghapusan utang kredit juga dilakukan ketika terjadi peristiwa Tsunami di Aceh dan gempa bumi di Nias Sumetera Utara.
Penyelesaian melalui faktor non hukum ini melahirkan model hukum baru yaitu penghapusan buku tagihan kredit bermasalah akibat bencana alam perlu dasar hukum yang kuat dalam rangka sistem hukum perbankan berupa peraturan setingkat undang-undang, sehingga klausula force majeure seperti bencana alam dalam perjanjian kredit bank mempunyai daya kerja perikatan. Selanjutnya perlu dibentuk suatu badan/lembaga khusus untuk menyelesaikan kredit bermasalah akibat peristiwa yang diakibatkan bencana alam sehingga piutang kredit itu tidak lagi menjadi beban bank. Dengan hapusnya kredit bermasalah itu bank-bank akan lebih leluasa untuk memperluas ekspansi dan dapat lebih fokus menjalankan bisnis dengan tujuan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Hal ini sesuai dengan konsep negara kesejahteraan di mana Indonesia termasuk di dalamnya bahwa salah satu tujuan negara Indonesia adalah terwujudnya kesejahteraan umum (bonum commune) sebagaimana terdapat dalam Pembukaan UUD 1945. Negara merupakan alat untuk mencapai tujuan bersama kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Hal tersebut seperti dikonsepkan W. Friedman tentang negara kesejahteraan yang menyatakan bahwa negara mengemban empat fungsi, yaitu negara sebagai pelayan, negara sebagai pengatur, negara sebagai wirausaha, dan negara sebagai regulator.
Sedangkan terkait hutang masyarakat di koperasi dan KUKM akarta yang mengakses dana bergulir dan menjadi korban erupsi Gunung Kelud bisa diputihkan melalui mekanisme yang sudah ditetapkan, kata Direktur Utama (Dirut) LPDB-KUMKM Kemas Danial di beberapa media. Ada dua mekanisme yang ditawarkan untuk KUKM korban bencana erupsi Kelud salah satunya diajukan kepada Kementerian Keuangan untuk diputihkan.
Pihak LPDB-KUMKM mengatakan, pihaknya telah menyiapkan dua mekanisme yakni pemutihan utang dan perkuatan modal kembali dengan penjadwalan ulang pengembalian maupun dengan keringanan suku bunga Namun, Kemas menekankan seluruh mekanisme yang diambil itu benar-benar mengikuti prosedur yang telah ditetapkan.
Data pengakses pinjakan ke KUKM dan koperasi yang terkena dampak bencana ada sekitar 67 koperasi dengan plafond pembiayaan Rp120,405 miliar, Kabupaten Kediri ada 7 koperasi dengan plafond pinjaman Rp8,6 miliar, Di Jawa Timur jumlah mitra atau koperasi yang menerima dana bergulir sebanyak 279 dengan plafond pinjaman Rp491,4 miliar. Dari jumlah itu, sekitar 25 persen di antaranya berada di tangan mitra yang terdampak erupsi Gunung Kelud.
Jadi sebenarnya kesepakatan antara AWK dan OJK/BI dan pemkab masih cukup relevan, dimana kita menuntut untuk tetap dilakukan proses pemutihan, sedangkan sambil menunggu proses pihak perbankan tidak akan melakukan penagihan sedangkan apabila mau melakukan negosiasi harus melalui mekanisme kolektif dengan keputusan kolektif.
Salam kompasiana.