Mohon tunggu...
Mochammad Azis Qoharuddin
Mochammad Azis Qoharuddin Mohon Tunggu... Administrasi - Dosen/LP3M IAIFA Sumbersari/IAIFA sumbersari

saya bagian masyarakat yang sangat menentang ketidak adilan. prinsip dasar saya bagaimana kita bisa berguna untuk masyarakat dalam hal apapun.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Plin-plan, Inkonsisten Ketua dalam Organisasi, Aibkah?

25 Agustus 2014   16:59 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:37 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tanpa terasa dinginnya malam mulai menyapa, ketika whattsappku menerima pesan yang berbicara mengenai aib. Dia bercerita bahwa organisasinya tidak berjalan sempurna karena sikap dari seorang ketua, yang plin plan, semaunya sendiri kalau tidak dituruti akan marah, dan beberapa programnya tidak akan berjalan, baginya itu aib. Hal ini membuatku untuk mencoba mengurai apa aib itu, apakah aib ketua itu sama dengan aib seorang individu? Atau bahkan ternyata itu bukanlah aib?

Secara bahasa, aib artinya cacat dan kekurangan. Bentuk jamaknya: uyub. Sesuatu yang memiliki aib, dalam bahasa Arab, disebut ma`ib. Sebagian ulama’ hanafi menyatakan: Suatu bagian yang tidak ada dari asal penciptaanya dan hal itu dianggap sebagai bentuk kekurangan. (Al-Hasfaki, ad-Dur al-Mukhtar, Dar al-Fikr, Beirut)

Sebagai contoh, seekor kuda memiliki organ tubuh lengkap. Kemudian kakinya pincang disebabkan kecelakaan. Pincangnya kuda ini dianggap sebagai aib karena ini merupakan bagian yang kurang dilihat dari kondisi awalnya. Berbeda dengan kuda yang sejak dilahirkan tidak punya telinga. Tidak ada telinga pada kuda ini bukan termasuk aib, karena sejak awal tidak memiliki telinga. (lihat Hasyiyah Ibnu Abidin, Dar al-Fikr, Beirut, 1415 H, jilid 5, hlm. 117)

Dalam Islam telah diatur bagaimana perlakuan terhadap aib, sebagaimana hadist Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barang Siapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aib orang tersebut di dunia dan akhirat." Hal ini ditegaskan dengan hadist lain: Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Barang siapa yang menutupi aib saudaranya muslim, Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat, dan barang siapa mengumbar aib saudaranya muslim, maka Allah akan mengumbar aibnya hingga terbukalah kejelekannya di dalam rumahnya."

Sedangkan pengertian `aib secara istilah batasannya berbeda-beda, tergantung dari objek yang mengalami cacat. Karena itu, tidak bisa dipastikan dengan difinisi tertentu. Imam an-Nawawi mengatakan, “Batasan aib berbeda-beda. Aib yang diakui dalam barang dagangan, yang menyebabkan pembeli dibolehkan untuk khiyar (memilih melanjutkan beli atau dikembalikan adalah setiap cacat yang mengurangi harta atau mengurangi keinginan seseorang untuk memilikinya atau cacat pada barang dagangan tersebut …. Aib dalam kurban dan aqiqah adalah segala cacat yang mengurangi kadar dagingnya. Aib dalam pernikahan adalah segala cacat yang menyebabkan seseorang enggan untuk melakukan hubungan badan dan hilangnya keranjingan untuk mendekati ….” (An-Nawawi, Tahdzib al-Asma wa al-Lughah, tahqiq: Musthafa Abdul Kadir Atha’, Syamilah, 4/96).

Merujuk dari beberapa dalil diatas sangat jelas, bahwa menutupi aib itu harus dan wajib. Namun yang dinyatakan mengenai aib adalah hasil dari perilaku buruk individu, yang dapat berakibat buruk bagi dirinya maupun kelompoknya. Dalam sebuah organisasi ada berbagai aturan mengikat bagi pengurus maupun anggotanya, artinya sudah aturan-aturan yang telah sepakati bersama dan setiap keputusan buruk pengurus akan berdampak besar bagi organisasi tersebut yang kemudian menjadi aib.

Dalam kasus diatas sebetulnya, masalah ini lebih pada tiga hal, yakni:

1.Pengkhianat, karena lebih mementingkan kepentingan dirinya tanpa melihat kepentingan bersama,

2.Ketidak tahuan ketua tentang bagaimana cara berorganisasi, atau;

3.Ketua lebih mengedepankan ego.

Disinilah peran anggota organisasi menjadi penting, anggota yang akan mengawal serta melengkapi apa yang tidak bisa diperankan oleh pengurus. Bisa dikatakan tubuh tanpa kepala tidak bisa berbuat apa-apa, begitupun sebaliknya.

Well, let’s do the best think for our future!

Monggo, kompasianer ide-ide dan komentarnya saya tunggu…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun