Mohon tunggu...
Mochamad Toha
Mochamad Toha Mohon Tunggu... Jurnalis - Kini bekerja di Forum News Network

Jurnalis di Forum News Network. Jika ingin jadi teman, cukup tulis: toha.forum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Rivalitas “Orang Golkar” dalam Pilpres!

24 Mei 2014   19:54 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:09 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengulas “pergerakan” orang-orang Partai Golkar memang selalu menarik untuk disimak dan dipelajari. Karena, apapun yang terjadi dalam tubuh Golkar sekarang ini tidak lepas dari rivalitas antar dua kubu yang selama ini berseberangan: Akbar Tanjung dan Jusuf Kalla!

Ini yang kemudian diwujudkan dalam dukungan kepada capres-cawapres 2014. Manuver Surya Paloh yang pertama mendukung Joko Widodo sebagai capres PDI-P sudah merupakan upaya menjegal calon lainnya yang mau mengincar posisi cawapres Jokowi.

Apalagi, penyebutan Jusuf Kalla yang sebelumnya selalu digadang-gadang Paloh supaya digandeng Jokowi. Di sini seakan Megawati sebagai Ketua Umum DPP PDI-P telah dipaksa untuk menerima JK sebagai cawapres Jokowi. Dan ini ternyata benar terjadi.

Keengganan Megawati menerima Aburizal Bakrie alias Ical, Ketua Umum DPP Partai Golkar untuk didampingkan dengan Jokowi, jelas adalah hasil dari upaya “pemaksaan” Paloh tadi. Apalagi, Mega sempat tanya, “Sampeyan masih punya duit berapa, Mas?”

Konon, untuk jabatan cawapres, PDI-P mematok harga Rp 10 triliun, sebuah angka yang cukup fantastis bila nilai transaksi itu memang benar segitu. Artinya, hanya orang-orang kaya berlebih dan gila status saja yang sampai berani berkorban untuk sebuah jabatan.

Megawati lupa atau sengaja “lupa diri” kalau dia dulu pernah bersitegang dengan JK saat masih menjadi Wapres Susilo Bambang Yudhoyono? Kebijakan Pemerintah selalu dikritisi secara negatif.

Megawati pernah menilai Pemerintah seperti tarian Poco-Poco, maju selangkah, mundur dua langkah. Lalu dibalas! Jika kebijakan pemerintahan SBY-JK tentang pemberantasan kemiskinan ibarat penari poco-poco, “Megawati ibarat penari undur-undur.”

Artinya, “Tidak pernah maju, tetapi mundur terus.” Jika Megawati berhasil, mestinya menang dari SBY. Ternyata Megawati akhirnya tidak dipilih kembali oleh rakyat Indonesia. Wapres JK tak kalah sengit.

Prestasi pemerintahannya bersama SBY jauh lebih baik bila dibandingkan dengan semasa Megawati. Kata JK, poco-poco itu sehat. Lagi pula, “Gerakannya bersatu. Langkah (dalam tarian poco-poco) itu yang paling ritmis.”

JK balik menyebut, pemerintahan Megawati ibarat “tarian dansa”. Hanya berputar-putar di tempat. “Poco-poco jauh lebih baik dari dansa-dansa yang berputar-putar, sambil jualan gas yang murah pula,” ungkapnya.

Memang, pada 24 Maret 2002, Megawati menjalankan “diplomasi dansa” bersama dengan Presiden Tiongkok Jiang Zamin saat berkunjung ke Beijing. Saat itu, Megawati menyanyikan lagu Bengawan Solo di depan Presiden Jiang yang disambut lagu Tiongkok “Bagaimana Saya Tak Kehilangan Dia”.

Diplomasi dansa dijalani Megawati untuk melobi Beijing agar mau membeli LNG dari lapangan Tangguh di Papua untuk industri di Guang Zhou dan Fujian. Dan, diplomasi ini berhasil membuahkan kontrak penjualan sebesar 2,6 juta metric ton LNG per tahun untuk Provinsi Fujian dengan harga jual USD 2,4 per MMBTU (MillionBritish Thermal Unit).

Harga itu jauh lebih murah dibanding dengan harga pasar yang saat itu mencapai USD 6 per MMBTU. JK jelas tahu mengenai hal itu. Karena, dia dulu pernah menjadi Menkokesra di pemerintahan Presiden Megawati menjabat presiden.

JK juga tak mau jika pemerintahan yang dibangun bersama SBY dinilai gagal. Dan kini, Megawati sudah meminang JK menjadi cawapres Jokowi. Tidak ada dendam politik diantara mereka berdua, memang. Itulah realita politik masa kini.

Apa yang dialami JK jelas berbeda jauh dengan perlakuan Megawati terhadap Ical tadi. Sampeyan Wani Piro? Upaya Ical mendekati Megawati jelas sudah terganjal Paloh yang pernah menjadi rival dalam Munas Golkar pada 5-8 Oktober 2009 di Pekanbaru.

Dalam perebutan jabatan Ketua Umum Golkar yang ditinggalkan JK, muncullah dua nama yang paling kuat: Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. Nama Hutomo Mandala Putra yang akrab dipanggil Tommy tidak terlalu bepengaruh secara signifikan.

Dalam mengarahkan dukungannya, jelas JK berada di belakang Paloh. Sementaral, Akibar Tanjung cenderung mendukung Ical. Peta “koalisi” internal Golkar terjadi pula ketika harus menentukan cawapres Jokowi. Tapi, Paloh sudah mengunci Ical lewat Megawati.

Jadi, kalau toh akhirnya Ical kemudian lebih memilih berkoalisi dengan Prabowo Subianto adalah wajar, karena memang tak mungkin Ical diterima Paloh di koalisi PDI-P. Luhut Binsar Panjaitan, Wakil Ketua Dewan Pembina Golkar, jelas berseberangan dengan Ical.

Tapi, mantan jenderal ini lupa, siapa yang menempatkannya di posisi strategis Wakil Ketua Dewan Pembina Golkar di bawah Akbar Tanjung. Ical pula yang “ngajari” Luhut bisnis. Ini pula yang diikuti oleh Bambang Susetyo, orang kepercayaan Nirwan Bakrie.

Bisnis tambang batu-bara di Bumi Borneo bersama Bambang Hendarso Danuhi, mantan Kapolri, juga sebelumnya disokong Bakrie Brothers. Tapi, mungkin lebih baik begitu (keluar dari Golkar dan reuni dengan Paloh dan JK) ketimbang jadi slilit dalam gigi.

Pilihan Ical bergabung dengan Prabowo memang diharapkan bukan sebuah keterpaksaan. Tapi, lebih pada pilihan rasional. Prabowo dulu juga pernah jadi Anggota Dewan Pembina Golkar. Apalagi, di Golkar masih ada Titiek Soeharto, mantan istri Prabowo.

Jadi, persaingan antara Paloh-JK di satu pihak, dengan Ical-Akbar di lain pihak yang ada sekarang ini tidak lain adalah pengejawantahan dari rivalitas Munas Golkar Pekanbaru, yang akhirnya mengantarkan Ical sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar.

Karena kalah dalam Munas, akhirnya Paloh “keluar” dari Golkar dan mendirikan Nasional Demokrat (NasDem) yang awalnya hanya ormas saja, tapi oleh Paloh dipaksakan menjadi sebuah Partai Politik yang mengusung slogan Restorasi Perubahan.

Dengan bergabungnya Paloh ikut mengusung Jokowi, jelas menjadi sokongan baru untuk PDI-P. Apalagi, Paloh adalah seorang Bos Media Besar yang sebelumnya pernah ditinggal Hary Tanoesoedibyo, Bos MNC, yang bergabung ke Hanura, meski kemudian dipecat.

Wiranto sebagai Ketua Umum Partai Hanura jelas tidak akan mungkin bergabung dengan Prabowo, karena keduanya punya pengalaman yang “kurang sedap” terkait tudingan Prabowo terlibat kasus penculikan aktivis dan kerusuhan Mei 1998.

Sebagai pemenang Konvensi Partai Golkar, saat maju sebagai capres Golkar bersama KH Sholahuddin Wahid sebagai cawapresnya pada 2004, SBY dengan JK telah mengalahkannya. Rupaya, langkah mbalelo JK kini coba diulang lagi, siapa tahu Jokowi menang.

Jika Jokowi menang dan JK jadi wapres, ini jelas bisa menjadi ancaman bagi Megawati. Coba saja lihat, meski belum terpilih, dominasi publikasi (dan pernyataan) lebih banyak JK ketimbang Jokowi atau Megawati. Dan, Jokowi akan “tenggelam” di bawah JK kelak!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun