Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Titi Dalas "Tiga Hati dalam Gelas" (33)

19 April 2016   15:51 Diperbarui: 19 April 2016   16:01 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ibu masih terus bercerita masa lalunya.  Diah tak menyangka.  Begitu menderitanya ibu.  Begitu remuknya hati ibu.  Saat kami, anak-anak yang sembilan bulan dikandungnya tak mendapat kasih sayang dari laki-laki yang telah berkorban untuk dirinya.  Legimin hanya menginginkan tubuhnya.  Legimin tak peduli pada nafas-nafas baru yang hadir di hadapannya.

"Ibu juga yang salah," ibu terus-menerus mengucap kata-kata itu, walau kami sudah mencoba membesarkan hatinya.  Sejahat-jahat seorang ibu, hatinya pasti masih terus untuk anak-anaknya.

Kami bertiga tak mungkin menghentikan air mata.  Air mata penyesalan ibu.  Air mata penyesalan Diah.  Dan entah air mata apa yang juga mengalir dari pelupuk Mas Juli.

Diah merasa tak adil selama ini.  Diah sudah menghukum ibu dengan ketakpulangannya yang begitu panjang.  Afra pernah memberitahu kalau ibu sangat merindukan kepulangan Diah.  Namun Diah tak mau pulang.  Ada kebencian yang terselip di hati Diah setelah mendengar apa yang dikatakan Yu Karti tempo dulu.  Ya, tentang ibu.  Dan tentang dirinya yang ..... Ah!  Sekaranglah saat untuk mengakhiri semuanya.  Sekaranglah saat kembali hidup dalam dunia baru.  Bukan untuk melupakan, tapi untuk memaafkan.

"Maafkan ibu ya?"

Kami berdua hanya bisa mengangguk.  Sudah taka ada lagi kata-kata.  Kata-kata sudah kehilangan makna.  Kata-kata sudah tak bisa mewakili secuil pun perasaan kami saat ini.

Ibu terkulai.

Badan ibu lemah.  Ibu dibaringkan kembali.  Nafas ibu semakin memberat.  Walau senyum itu masih tertinggal seakan tak mau pergi dari bibir ibu.  Mungkin sudah merasa lega.  Mungkin sudah merasa tugas beratnya sudah terselesaikan juga.

Mbak Dini masuk.  Bersama Rara.  Dengan langkah yang tergopoh.  Dengan muka yang penuh tanda tanya.  Tapi Mbak Dini juga sudah paham.  Dia sudah mampu menangkap apa yang tersirat.  Mbak ini ikut mendekap kaki ibu.

Pelan-pelan, kami membimbingnya membaca lafaz "Allah".  Ibu mengikuti dengan desis yang nyaris tak terdengar.  Begitu lirih.  begitu pedih.

Diah terus mencoba.  Tapi, ternyata Tuhan sudah mencatat segalanya.  Ibu pun menghadap-Nya.  Diah terpaku.  Mbak Dini terpaku.  Mas Juli terus mengucap doa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun