Pagi sudah lama pergi. Matahari sudah berdiri tegak hampir di tengah cakrawala. Hari terasa begitu terik. Panas sekali. Ibu Dwi sibuk mengerjakan kue pesanan yang kian laris akhir-akhir ini. Juga Yoga.  Adik semata wayang Dwi. Dia sudah sibuk sejak subuh. Membantu ibunya. Dengan suika rela.Â
Hanya Dwi yang masih malas-malasan. Tak juga ada yang dikerjakan. Padahal, ibu dan adiknya sangat senang jika Dwi membantu pekerjaan itu. Seperti biasanya.
"Dwi....!" panggil Ibunya.
Yang dipanggil tak juga beranjak dari depan televisi. Dwi sendiri sebetulnya mendengar. Sangat mendengar. Teriakan itu. Tapi Dwi memang sudah capai. Capai disuruh-suruh melulu. Oleh ibu. Setiap pagi. Setiap hari. Bahkan setiap detik. Setiap saat. Selalu saja ibunya menyuruh Dwi. Bantu ambilkan daun pisang. Tolong bungkus kue pesanan. Tolong ambilkan kelapa. Bantu ini, ini, dan itu.
"Membosankan!" kata Dwi dalam hati. Sambil menutup telinganya. Rapat-rapat. Tapi akibatnya, Dwi malah tak bisa mendengar suara televisi. Terpaksa dibuka lagi. Dan teriakan itu pun terdengar lagi.
"Dwi......! Dwi Purnamasari!" panggil Ibu Dwi lebih keras lagi. Dengan nama lengkap pula. Pertanda kemarahan sudah cukup tinggi. Dwi tahu. Namun Dwi tak peduli. Sebentar lagi Ibu Dwi pasti akan datang ke tempat Dwi yang tak mau memalingkan matanya dari televisi.Â
Ibu Dwi akan mematikan televisi. Dan diteruskan dengan ocehan yang terlalu panjang untuk sekedar dituliskan dalam cerita ini. Lebih baik biarkan Dwi saja yang tahu segala omelan ibunya itu.
Dan betul. Dalam hitungan detik, Ibu Dwi sudah berdiri di depan televisi. Terus memencet tombol power di televisi. Televisi pun mati. Dan ...
Dwi tetap tak peduli. Dwi malah ngeloyor masuk kamar. Dikunci dari dalam. Menyetel radio yang suaranya sember. Sudah terlalu tua usianya. Dan belum juga diganti hingga kini. Radio yang usianya lebih banyak dari usia Dwi sendiri.
Dwi. Dwi Purnamasari. Bukan anak bandel. Dwi anak pintar. Dwi anak penurut. Termasuk kepada orangtuanya. Entah kenapa segala sikap baiknya itu mendadak sontak berubah sejak Dwi naik kelas delapan.Â
Kebiasaan Dwi membantu orangtua tak pernah lagi dilakukan. Dulu, tak pernah Ibu Dwi marah. Tak pernah. Menyuruh pun tak pernah dilakukan Ibu Dwi. Bukan. Bukan berarti ada perubahan di rumah Dwi. Segalanya sama saja kok. Rumah Dwi masih rumah yang usang. Yang warna catnya pun sudah pudar dan terkelupas di sana sini.  Walau tak banyak bocor. Ibu Dwi juga masih jualan. Jualan kue yang dipesan tetangganya. Adik Dwi juga masih semangat membantu ibunya.Â