Matahari seperti enggan untuk membuka mata. Sinarnya hanya temaram. Padahal tengah hari “bolong”. Jam satu siang. Biasanya kalau jam segitu, matahari sedang terik-teriknya.
Cuaca saat ini memang sulit ditebak. Kata Bu Indah, guru IPA di sekolah Mudofar, memang iklim saat ini sedang kacau. Gara-garanya juga ulah manusia. Yang tak penah sadar akan akibat perbuatannya. Hutan di banyak tempat sudah gundul. Plontos seperti kepala Markus Horison si penjaga gawang Tim Sepakbola Nasional.
Sehabis salat Zuhur, Mudofar tidak langsung pulang. Seperti hari-hari biasanya. Mudofar ingin membersihkan sampah dedaunan yang bertebaran di pelataran mushola sekolah. Musola yang sekarang menjadi tanggung jawabnya.
Memang ada perbedaan. Musola sekolah yang dulu lebih mirip gudang, sekarang sudah terlihat rapi dan bersih. Setiap pagi, Mudofar berusaha untuk datang lebih pagi dari teman-temannya. Tujuannya hanya satu, mengepel rumah Tuhan.
“Kalau rumah Tuhan kumuh, yang ada justru setan,” kata Mudofar suatu hari.
Tak apa kalau tak ada siswa yang salat di musola itu. Mungkin juga karena musola tak pernah bersih sehingga banyak yang enggan ke musola. Maka sekarang tugas Mudofar yang utama adalah membersihkan musola terlebih dahulu.
“Begitu dong, kalau menjadi ketua Rohis,” kata Bapak Badrudin, guru agama di sekolah Mudofar.
Mudofar hanya tersenyum.
“Tapi sayang, yang salat belum ada, Far,” lanjut Pak Badrudin.
Kata-kata Pak Badrudin betul-betul menusuk hati Mudofar. Musola yang sudah bersih dan selalu dibersihkannya, belum mampu menarik teman-teman Mudofar untuk mampir ke musola yang memang tempatnya di pojok sekolah. Mudofar berjanji, berjanji dalam hati, kalau dirinya akan berusaha, berusaha sekuat tenaga untuk membuat musola ramai.
Tentunya bukan ramai saja. Tapi ramai oleh anak-anak yang salat. Ramai oleh anak-anak yang mengkaji agama. Mudofar memang prihatin. Prihatin pada teman-temannya yang lebih suka nongkrong berlama-lama di warnet. Sampai-sampai lupa waktu. Magrib baru pulang ke rumah.