Matahari seakan berada tepat di atas kepala. Teriknya tak alang kepalang. Tengah hari, saat pulang sekolah, memang suhu udara tak ada tandingannya. Atau memang betul kata guru IPA, kalau rata-rata suhu udara memang terus bertambah. Seiring dengan terjadinya apa yang disebut pemanasan global? Tak tahulah!
Dari tadi Mocsya berdiri. Tangannya dikipas-kipaskan. Memanggil angin. Untuk sedikit menghentikan kucuran keringat. Kepala dilongok-longokan. Mencari seseorang. Beberapa teman menyapa, tapi tak dipedulikan. Hanya anggukan kepala. Agar tidak dianggap keterlaluan.
“Jadi main PS, Ca?” tanya Teguh.
“Maaf kawan, hari ini aku ada urusan yang lebih penting daripada sekadar main Pe-es,” jawab Mocsya sambil terus mencari seseorang.
“Oke deh, tapi kalau nanti sudah sadar, kau boleh menyusul juga. Tempat biasaaaaaa! Taruhan tambah gede lho, Ca,” tambah Teguh berusaha mempengaruhi Mocsya.
“Tunggulah kau sampai kiamat tiba. Aku sudah tobat, Kawan,” kata Mocsya dengan menirukan aksen Batak.
“Lagak kau, Ca!” Teguh pergi. Menyerah. Teguh tahu persis, kalau Mocsya memang tak akan mudah dipengaruhi. Kalau sudah punya pendirian, akan selalu ia perjuangkan. Sampai titik penghabisan.
Orang yang dicari belum juga muncul batang hidungnya. Jangan-jangan si Bagus ditelan bumi? Tak mungkinlah. Itu kan hanya peribahasa. Bagus pasti sebentar lagi lewat. Dan betul …
“Gus! Bagus!” panggil Mocsya sambil berlari menyusul Bagus.
“Ada apa, Ca?” tanya Bagus.
“Mau pulang?” tanya Mocsya.