Munculnya kelompok yang mengaku dan bertekad memurnikan agama jelas sebuah problema mendasar dalam kehidupan beragama di negeri ini. Ideologi impor ini bertekad untuk menggeser sikap beragama di negeri ini yang sudah teruji berabad-abad lamanya.
Lebih menyedihkan lagi, jika pemurnian agama hanya merujuk pada sesuatu yang Arab. Seakan Arab menjadi rujukan syah dan satu-satunya dalam sikap keberagamaan. Sikap yang sangat tidak layak.
Kecaman muncul kepada orang-orang yang berjasa kepada penyebaran Islam di negeri ini. Mereka yang direpresentasikan oleh Walisongo atau sembilan wali di Jawa. Padahal, kecerdasaran para wali itulah yang membuat Islam begitu cepat menyebar menjadi agama masyoritas di negeri ini. Para Wali tidak pernah asal seruduk dengan konsep-konsep yang serba Arab. Islam adalah sebuah nilai universal. Sehingga bisa berseiring dengan lokalitas di negeri mana pun.
Para Wali mampu menjadikan sebuah Islam Indonesia bukan sekadar Islam di Indonesia. Islam yang tetap mengindonesia dan Indonesia yang mengislam. Alkisah, seorang Wali melarang umat Islam memotong sapi. Apakah karena sang Wali tak hukum Islam bahwa memotong sapi adalah boleh? Tentu tidak! Tapi, Sang Wali sangat menghormati orang-orang di sekitar hidupnya yang masih menganggap sapi sebagai hewan yang suci. Ini merupakan sebuah pertanda Islam yang rahmatan lilalamin.
Sunan Kalijaga juga terkenal dengan penggunaan wayang sebagai media penyebaran agama Islam yang efektif. Juga digunakan sebagai media pembelajaran nilai-nilai Islam.
Lalu, pemurnian akan memberangus semua itu. Hanya karena rujukan Arabnya tak ada. Alangkah sempitnya. Seakan Islam tak lagi universal, dalam pemikiran mereka.
Terus, apakah Suni itu agama murni dan Syiah sebagai agama murni? Terus, kalau Syiah bukan agama murni hendak dipaksa untuk bertaubat dalam artian sempit diri sendiri sebagai menjadi Suni?
Persoalan iman adalah persoalan kepercayaan yang tak bisa dipaksa-paksa. Penulis teringat cerita Amirul Mukminin Umar Bin Khatab. Saat pasukan Islam dibawah panglima besar Amr In Ash mampu menaklukkan Mesir. Lalu sebagai gubernur, Amr Bin Ash ingin membangun mesjid yang megah sebagai simbol kejayaan Islam. Lalu, ditentukanlah sebuah tempat yang strategis. Sayang, di tempat yang strategis itu, ada sebuah gubuk milik seorang Yahudi. Dan orang Yahudi tersebut tak mau menjual tanah atau dipindah ke tempat lain. Sehingga, Amr Bin Ash sebagai Gubernur memutuskan untuk menggusur orang Yahudi tak berdaya tersebut.
Kemudian orang Yahudi yang miskin itu melaporkan kejadiannya kepada Amirul Mukminin Umar Bin Khatar r.a. Dan diterima langsung oleh sang Khalifah.
Setelah mendengar penjelasan dari orang Yahudi, Umar pun mengambil sebuah tulang. Membuat goresan dengan pedangnya dan dikirimkan kepada Gubernur Amr Bin Ash.
Mendapat kiriman tulang bertorehkan pedang Umar, Amr Bin Ash membatalkan penggusuran. Tapi, pada saat yang sama, orang Yahudi yang melihat keadilan pada agama baru itu langsung memberikan tanahnya dan bahkan dia sendiri masuk Islam.