Ada aspek sosial pada setiap ibadah. Malah, banyak yang mengaitkan dampak sosial ibadah dengan keberterimaan sebuah ibadah di mata Tuhannya. Misalnya saja, ketika orang yang salatnya tak henti-henti, bahkan sampai salat sunahnya juga laksana salat wajib, tapi masih mau korupsi juga, maka yang dipertanyakan bukan korupsinya, tapi salatnya yang belum berterima. Seorang haji yang kikir saat pulang haji, juga diartikan sebagai haji wisata belaka, belum mencapai haji mabrur.
Ibadah kurban juga seharusnya diukur dari dampak sosialnya. Apa yang bisa dilihat sebagai dampak sosial ibadah kurban? Karena saat Anda keliling sekitar lingkungan rumah Anda pada hari kemarin, hari ini, atau besok dan lusa, maka kita hanya aakn menyaksikan hura-hura dengan kambing kurban.
Apakah ibadah kurban, terutama di kota-kota telah berubah menjadi arena hura-hura belaka? Semoga ada pemikiran yang lebih baik lagi. Terutama, bagaimana meningkatkan dampak sosial dari ibadah kurban. Jangan sampai hanya untuk hari ini saja sebagai hura-hura juga. Tapi harus berdampak lebih luas dan lebih mengedepan.
Pernah mendengar wawancara Imam Masjid Istiqlal, bahwa Aisyah, istri nabi, lebih suka mendermakan hartanya kepada fakir miskin daripada untuk berkurban. Sehingga kemanfaatannya lebih menukik. Apalagi jika dibandingkan fenomena hura-hura saat ini.
Memprihatinkan!
Ah, terlalu serius, Nih! Sate nyampe hampir gosong. Makan sate dulu, ah. Sambil mikir untuk mengumpulkan uang lagi biar bisa berkurban tahun depan. Atau aku sedekahkan saja seperti yang dilakukan Aisyah, ya?
Hemmmmm......................
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H