Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gus Dur, Rujukan Keindonesiaanku

27 April 2011   01:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:21 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setiap mencari Indonesia, aku selalu mencari rujukan yang tepat.  Pencarian keindonesian tanpa rujukan bagai mencari alamat tanpa denah atau peta.  Kita pasti akan tersasar ke mana-mana.  Bahkan mungkin terperosok dalam lembah tak bertuan.

Rujukanku dalam mencari dan menemukan keindonesiaan dalam diriku adalah sosok Presiden RI ke-4.  Yaitu Yang Terhormat Bapak Abdurahman Wahid atau sering disebut sebagai Gus Dur.  Beliaulah rujukanku setiap kali mencari Indonesia atau disaat-saat gamang dalam melihat masa depan Indonesia.

Mengapa dengan Gus Dur?

Tak ada yang mengingkari ke-Islam-an tokoh yang satu ini.  Beliau adalah keturunan trah Biru di tubuh organisasi Islam terbesar di Indonesia atau bahkan di dunia.  Karena beliau merupakan cucu dari Sang Pendiri organisasi itu.  Tapi apa yang dilakukan oleh orang Islam ini?  Beliau mengatakan kalau dia tetap orang Indonesia yang beragama Islam.  Beliau tetap mengedepankan Indonesianya dibandingkan Islamnya.  Ini menjadi rujukanku dalam menyikapi antara Islam dan bangsa ini.  Karena begitu banyak yang memilih sebaliknya dan berjuang mati-matian hingga mematikan orang lain demi keyakinannya yang berkebalikan dengan keyakinan Gus Dur.  Mereka bahkan rela merusak keindonesiaannya.

Ada juga yang ragu diantara keduanya.  Mereka gamang.  Kadang bolak-balik di anatara keduanya.  Tapi untuk saat ini, sudah mulai terlihat lebih banyak yang mengikuti arah lain dari Gus Dur demi alasan politik dan kekuasaan semata.  Sesuatu yang sangat menyesakkan tentunya.  Keindonesiaan menjadi semakin rentan, retak, bahkan mungkin dapat dikatakan hampir karam.

Tahun 1984, beliau (Gus Dur) juga mampu mengajak kapal NU untuk terus menjaga Indonesia terutama Pancasilanya.  Tanpa Pancasila tak ada Indonesia.  Pancasilalah yang merekat NKRI ini.  Sehingga, merawat Pancasila dapat diartikan juga sebagai merawat bumi pertiwi ini.  Sayapun merujuknya untuk hal ini.  Saya berupaya terus menanamkan keindonesiaan, Pancasila, dan kemajemukan kepada murid-murid saya.  Saya tanamkan bahwa mereka adalah generasi yang harus terus menjaga itu semua (Indonesia, Pancasila, dan Kebinekaan).

Tahun 1990, beliau tetap teguh dengan keindonesiaannya.  Saat mendirikan Forum Demokrasi atau Fordem.  Walaupun tak dinyatakan secara eksplisit, tapi semua orang tahu kalau Fordem memang ditujukan untuk membendung arus lain yang kurang merujukan keIndonesiaan dalam arti yang plural.  Saya pun bangga dengan beliau.  Saya semakin terpesona dengan pemikirannya ini.  Walau banyak ditentang oleh orang yang seiman dengannya.  Bahkan muncul fitnahan-fitnahan terhadapnya.  Gus Dur tetap merawat Keindonesiannya.  Dengan sepenuh hati.

Apalagi ketika muncul upaya penyeragaman melalu UU Pornografi.  Maka beliaupun berdiri di depan menolak UU yang menurutnya tak mengindonesia itu.  Saya juga ada di belakangnya.  Mendukung apa yang dilakukannya untuk terus merawat Indonesia.

Gus Dur berasal dari mereka yang mayoritas di negeri ini.  Tapi beliau selalu membela yang minritas di negeri ini.  Beliau tak rela ada ketidakadilan terhadap mereka hanya karena mereka minoritas.  Dengan sekuat tenaga, dengan seteguh hati beliau bela minoritas itu.  Untuk apa?  Tentunya sekali lagi, demi Indonesia yang beliau cintai selama hidupnya.

Itulah Gus Dur.  Saya hanya bisa menampilkan sekilas kehidupan dan sikap beliau dalam menjaga dan merawat Indonesia sebagai taman yang penuh warna-warni.  Yang mengatakan" Tuhan Tak Perlu Dibela"  .  Indonesialah yang perlu dibela.  Tanpa belaan, Indonesia pasti akan retak bahkan tenggelam tergerus zaman.

Itulah sosok rujukan saya dalam melihat, merawat, dan melihat masa depan Indonesia.  Akan saya teruskan cita-citanya.  Menjaga Indonesia.  Sampai kapan pun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun