Oleh: Mochamad Syafei
No. 54
Sore itu masih belum tenggelam benar. Masih ada semburat merah di ufuk barat. dan dia menemuiku kembali. Sambil membawa es dawet kesukaanku. Dia memang hebat. Setiap kali, bertengkar selalu saja dia mampu meluluhkan kembali hatiku. Apalagi kalau sudah membawa es dawet Yu Siti yang enaknya nyampe ke ubun-ubun. Aku pun pasti akan terjerembab pada cinta yang membahana.
"Ana apa?" tanyaku dalam bahasa tegal.
"Inyong pan jaluk maaf," kata dia dengan sorot mata harap.
"Emoh!" jawabku sambil pura-pura jual mahal.
"Isuk dolan neng Cacaban, yuk!" ajaknya. Membuat hatiku dagdigdug antara menolak dan mau atas ajakannya itu. Sudah tiga bulan lebih aku dan dia tak pergi ke Cacaban. Padahal, biasanya hampir dua minggu sekali kami jalan-ja;lan ke Cacaban. Di sana hanya duduk-duduk saja, tapi kalau bersamanya, hati ini terasa tenteram. Pernah sekali saja kami berdua naik kementhing (sebuah perahu kecil), tapi karena dia tak pandai mengemudikan juga karena aku yang gemetaran, hampir saja kami tercebur ke dalam waduk. Sejak saat itu, aku tak mau lagi diajak naik kementhin setiap kali pergi ke Cacaban.
"Isuk dolan neng Cacaban, ya?" rayunya lagi.
Dan tanpa sadar, aku pun menganggukkan kepada. Terus dia memelukku dari belakang. Dan kami kembali baikan. Dan paginya kami pergi ke Cacaban. Menghabiskan waktu seharian bersamanya. Bahkan kami baru sampai di kampungku sebuah desa bernama Lembasari di kecamatan Jatinegara pada malam yang sudah membungkus segalanya. Dan bapakku marah. Marah sekali. Hingga tak terbendung. Dilabraknya dia hingga habis nama-nama binatang di kebun binatang. Bahkan tinju Bapak juga mendarat di mukanya.
Menghadapi semua itu, dia diam saja. Tak melawan satu kata pun. Dia betul-betul merasa bersalah. Sementara aku hanya bisa menangis.
Sejak saat itu, dia tak pernah kembali lagi. Bukan hanya ke rumahku tapi juga ke kampung ini. Berhari-hari. Berbulan-bulan. Bertahun-tahun.