Waktu umur lima tahunan, aku lebih senang bermain di rumah kakek. Â Ada saja yang dilakukan kakek, Â dan mengajakku ikut.
Pernah aku diajak mancing. Â Bawa pancing sendiri. Â Dan memasang umpan sendiri. Â Dapat satu ikan kecil tapi senangnya tak ketulungan.Â
Kakek juga sepertinya senangnya kalau aku datang ke rumahnya. Mungkin karena aku cucu pertamanya. Selalu ada saja makanan yang disiapkan untukku.  Kadang telor rebus dari ayam yang ada di kandang milik kakek.  Kadang dibeliin kue gitcrot,  alias digigit mancrot.Â
Bahkan aku sering diajak kakek masuk kamarnya. Kakek punya keris yang kadang bisa jalan sendiri. Kakek juga punya  cincin yang bisa bersinar terang waktu diletakkan di tempat gelap.Â
Di rumah kakek ada pohon sawo. Pohon sawo itu ada di pojokan pekarangan rumah. Buahnya lebat sekali. Â Dan tak mengenal musim. Â Setiap saat selalu ada yang siap petik.Â
Anehnya,  buah pohon sawo itu yang besar dan ranum itu tidak pernah ada yang  memetiknya.  Tak ada yang berani. Â
Pernah ada anak tetangga yang nekad naik ke pohon itu karena tak tahan melihat buah sawo yang sudah ranum. Tapi apa akibatnya, Â dia tidak bisa turun. Kata dia, di bawah pohon tak ada tanah. Semuanya sudah menjadi lautan.Â
Pernah juga ada yang memetik buah sawo yang bisa dijangkau dengan tangan, Â tapi dia tidak bisa ke mana mana karena seharian cuma muteri pohon.Â
"Boleh, Kek?" tanyaku.Â
Kakek mengangguk. Akhirnya aku bermain dengan anak anak kecil yang ada di bawah pohon sawo. Aku tak takut karena anak anak itu juga akrab dengan kakek.Â