Berita tentang pementasan Butet di TIM mengingatkan kita pada pelarangan rezim Orde Baru terhadap  pementasan Rendra. Â
Kita mengenal Rendra dengan puisi puisi nya yang penuh kritik.  Kritik yang dilontarkan Rendra dalam puisi puisinya tentulah  kritik terhadap kekuasaan yang sewenang wenang.  Dan kekuasaan yang dikritik Rendra pada saat itu tentulah kekuasaan rezim Orde Baru.Â
Sastra biasanya dibagi dalam tiga jenis.  Ada drama, proses, dan puisi. Setiap karya sastra tentu memiliki pesan yang ingin disampaikan oleh si penulis karya sastra tersebut. Dalam teori sastra disebut sebagai unsur intrinsik  amanat.Â
Tak ada sastra yang tercipta dalam ruang kosong. Sastra lahir dalam sebuah pergulatan pengarangnya dengan konteks sosial politik,  sosial  budaya,  sosial ekonomi pengarangnya hidup.Â
Pergulatan sastra dengan konteks kelahirannya bahkan pernah pepoler dalam sebuah perdebatan tentang "Sastra Kontekstual" di tahun 1980 an. Dimotori oleh Ariel Haryanto dari sebuah kampus di Solo.Â
Lalu bagaimana sastra berhubungan dengan politik?
Sebelum kemerdekaan,  ada era sastra Balai Pustaka.  Dalam era ini, sastra belum bicara tentang politik. Cerita cerita dalam sastra Balai Pustaka  masih tentang  kawin paksa atau realitas hubungan manusia.Â
Pada era Pujangga Baru, Â politik sastra sudah mulai terlihat. Karya karua yang lahir pada era Pujangga Baru rata rata sudah memuat politik perjuangan. Â Anggaplah seperti karya Sutan Takdir yang bicara tentang emansipasi.Â
Lebih terlihat jelas, perjuangan politik dalam karya sastra angkatan 45 (berdasarkan pembagian yang dilakukan oleh Paus Sastra Indonesia bernama HB Jasin). Mungkin karena sastra 45 lahir dalam suasana kemerdekaan negeri ini. Puisi puisi Chairil dapat menjadi contoh puisi penyebar semangat perjuangan.Â
Pada tahun 1966, lahir angkatan sastra Baru. Politik sastra pada tahun 1966 lebih pada perlawanan terhadap kebiadaban PKI.  Puisi puisi  Taufiq Ismail dapat dikatakan mewakili kegelisahan bangsa ini menghadapi kelicikan PKI.Â