"Langsung kita tikam?"
Sejak sore, rumah itu sudah tampak rapi. Semua dipersiapkan dengan teliti. Tak ada satu benda pun yang tampak tak punya fungsi.Â
"Biarkan dia makan dulu?"
Makan malam juga sudah tersusun rapi. Barisan bangku berjejer seperti tentara yang sedang menunggu perintah perang. Meja sudah tak lagi terjeda, Â kecuali ada makanan di atasnya.
"Apakah kita tembak tepat di jidat?"
Satu pejabat datang. Dia sendirian. Hanya bersama sopirnya, yang tentu saja tetap di mobil sampai nanti bosnya itu kembali.Â
"Atau dekati dan gorok lehernya dengan berlatih?"
Orang kedua juga datang sendiri. Â Orang ketiga juga tak tampak ada yang mengiringi.Â
Tuan rumah menyambutnya derajat. Ramah sekali. Padahal, semua orang tahu kalau satu diantara ketiga tamu yang diundang makan malam ini adalah musuhnya yang paling ditakuti. Â Tapi itu dulu. Â Sekarang mereka sudah akrab dan seperti keluarga sendiri.Â
Satunya lagi jelas anak buahnya. Â Bertahun tahun dia ingin melenyapkan anak buahnya itu. Anak buahnya juga memiliki cita cita yang sama. Walaupun setiap hari kita akan selalu melihatnya bersama. Bahkan kadang pura-pura bergandeng tangan.