Indonesia kalah dari Vietnam dan tersingkir dari perebutan tiket final? Biasa saja. Namanya pertandingan, kan harus ada yang kalah dan ada yang menang. Tak mungkin kalah semua atau menang semua.Â
Kita harus belajar dari kekalahan. Karena, dengan kekalahan tersebut kita memang disuruh merenung. Kenapa kalah?Â
Hanya saja, ketika tahap merenungi kesalahan ini kemudian muncul kesalahan baru. Karena kita lebih sering dan lebih senang menyalahkan pihak lain. Misalnya saja, tentang wasit.Â
Padahal, semua orang tahu, bahwa pada mulanya asal muasal kekalahan sebuah kelompok karena mereka tidak memiliki jiwa menang. Kok jiwa menang?Â
Sepak bola Indonesia lebih banyak terdengar kalahnya daripada menangnya. Biasanya menang di tahap awal. Pada ujungnya kalah kalah juga.Â
Seorang atau kelompok yang berjiwa pemenang akan selalu mengukur dirinya. Pertarungan paling sengit tentunya pertarungan untuk mengalahkan dirinya. Jika kemampuan mengalahkan dirinya muncul, maka jiwa pemenang sudah mulai bersemayam.Â
Apakah setelah kekalahan di AFF ini kemudian kita mendengar pelatih maju bertanggungjawab dan menyatakan mundur?Â
Apakah setelah kekalahan di AFF ini kemudian muncul pernyataan dari pssi bahwa selama kerja mereka tak becus?Â
Tak mungkin. Kalau pun mungkin, kadang tampak seperti drama belaka. Dengan akhir yang mudah ditembaknya.Â
Kekalahan itu memang menunjukkan kualitas yang kalah tingkat. Maka, kita harus akui. Kemudian, pelan pelan diperbaiki dengan program yang jelas.Â
Tanpa pengakuan bahwa kualitas pemain kita kalah dibandingkan pemain Vietnam, maka kita hanya akan terus bersandiwara. Kita akan menjadi pecundang selamanya.Â
Kemajuan kita mungkin ada. Tapi bagaimana jika dibandingkan kemajuan lawan? Jangan hanya mengukur dirinya sendiri tanpa pembanding.Â
Mari kita belajar dari kekalahan. Karena kekalahan itu hadir untuk belajar.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H