Tahun politik seharusnya cukup datang 5 tahun sekali. Itu pun terlalu cepat. Karena kita sebagai bangsa lebih butuh pengelolaan negara yang lebih baik. Bukan berisik tak berguna.Â
Setelah 2019 kita dibisingkan dengan adegan adegan konyol perpolitikan, seharusnya kita akan mengulangi kedunguan itu pada 2024. Atau tepat 5 tahun kemudian.Â
Bukan sekarang.Â
Tapi napsu politik terlalu tinggi. Genderang politik sudah ditabuh bertalu talu. Di tengah kebisingan yang juga belum usai. Seakan hari hari kita diberondong oleh napsu mereka.Â
Akhirnya, pekerjaan pemerintah untuk menyejahterakan warganegara terganggu juga. Bagaimana tidak terganggu jika partai pendukung pemerintah, partai yang diberi kursi kabinet dalam pemerintahan, tapi sudah mencalonkan presiden dari orang yang berseberangan dengan pemerintah?Â
Presiden dan ketua umum partai menjadi saling kikuk. Menunggu gelagat sambil brrsiap saling tikam. Politik memang benar kata orang bijak, kejam. Tak ada musuh abadi, tak ada kawan abadi, yang ada hanya keabadian kepentingan. Kepentingan siapa? Mungkin juga oligarki yang tak pernah terlihat berpartai.Â
Masih ada 2 tahun untuk menyejahterakan warganegara nya. Bukan waktu yang lama. Tapi cukup juga jika dimanfaatkan dengan baik.Â
Bukan sebuah kejelekan jika seorang politikus menjadi menteri. Menteri memang jabatan politik. Tapi jika kondisinya seperti ini, menteri dari partai politik cuma mengganggu saja. Kerja kerja para profesional seperti Bu Sri Mulyani, Bu Retno, dan Pak Basuki layak diacungi jempol.Â
Terlalu dini jika hari gini sudah ontran ontran tentang capres cawapres. Hanya akan mengganggu kerja orang yang memang niat bekerja.Â
Akan lebih baik lagi jika pemilu diperpanjang. Tidak 5 tahun sekali, tapi 7 atau 8 tahun sekali. Ada waktu yang lebih banyak untuk bekerja. Kita toh tidak bisa sejahtera karena geger politik. Kita sejahtera karena walaupun terlihat diam tapi kerja siang malam.Â