Berita tentang Mbah Minto yang dituntut dua tahun penjara oleh jaksa sudah pasti membuat hati siapa pun akan merasa iba. Masa seorang penjaga kolam harus diam ketika ada maling datang di tengah buta malam?Â
Tapi ini bukan cerita Mbah Minto yang ada di Demak, ini cerita tentang Mbah Minto yang ada di kampungku. Di sebuah kampung kecil di dekat Gunung Slamet yang sejuknya sering dianggap sebagai bocoran sorga.Â
Di kampungku banyak orang kampung. Asli situ. Karena untuk masuk ke kampung ku memang tak ada pilihan lain kecuali jalan kaki sepanjang 6 kilometer dari jalan aspal.Â
Rumah di kampungku juga rumah kayu  semua. Karena memang tak mampu beli semen. Untuk makan saja selalu apa adanya. Kadang tak ada apa apanya juga.Â
"Sudah ngopi, Mbah? "
Pertanyaan itu sering terdengar ketika orang di kampungku melewati bangunan rumah gedung satu satunya di kampungku yang dijaga Mbah Minto.Â
Orang kampungku tak ada yang kenal pemilik rumah gedung satu satunya di kampungku yang dijaga Mbah Minto tersebut. Bahkan beberapa anak kecil sering menganggap kalau rumah gedung itu milik Mbah Minto karena selalu melihat Mbah Minto di rumah itu setiap hari.Â
Mbah Minto sudah lama sekali menjaga rumah itu. Mulai sejak rumah itu dibangun. Kata orang orang pemiliknya orang kota. Pejabat gede banget. Yang duitnya tak bisa dihitung pakai tangan sehingga membeli mesin penghitung uang.Â
Tapi, selama saya nongol di bumi ini, tak pernah juga melihat orang kota itu datang untuk sekadar menengok rumah super duper bagusnya itu. Hingga saya kini tinggal di Jakarta sebagai salah satu penghuni kolong jembatan pun tak pernah dengar pemilil rumah itu.Â