Sudah cukup lama, mencari sesuatu yang terjadi pada diri saya sendiri. Ternyata itu dinamakan self diagnosis.Â
Dan hari ini saya menemukan sebuah tulisan yang mencerahkan dari Bu Kristi Poerwandari di Kompas cetak, Sabtu, 6 November 2021 tentang self diagnosis.Â
Kadang kita punya masalah yang dirasa berat. Kadang kita merasa ada yang aneh pada diri kita. Tapi kita ingin tahu sendiri.Â
Akhirnya, kita pun mencari berbagai sumber yang sekarang melimpah di dunia maya. Kata seorang teman, tak ada satupun persoalan yang tak memiliki jawaban di dunia maya.Â
Ternyata self diagnosis berbahaya juga, menurut Bu Kristi. Kita bisa terjerumus pada sikap menegatifkan diri sendiri. Bahkan prilaku negatif yang sudah ada menjadi dibenar benarkan setelah kita melakukan self diagnosis.Â
Kecenderungan untuk menegatifkan diri dalam self diagnosis dan dilanjutkan dengan pembenar benaran sikap tersebut, tentu berdampak pada kehidupan yang tidak baik. Bagi diri sendiri atau bagi orang sekitar.Â
Oleh karena itu, pertolongan seorang yang ahli sangat diperlukan. Pertolongan orang luar sangat dibutuhkan. Agar penilaian tidak bias.Â
Lawan self diagnosis juga ternyata ada. Dinamakannya toxsic positivity. Sikap optimisme berlebihan. Sehingga segalanya dianggap positif dengan menafikan bahwa dalam kehidupan memang ada kesulitan.Â
Ayo, kita hidup dalam sebuah sikap berimbang. Sikap menerima kesulitan. Tapi juga tetap memilihara optimisme karena kesulitan itu hanya sementara.Â
Alangkah indahnya hidup ini. Jangan lupa untuk bersyukur.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H