Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Nyantri, Mau Jadi Apa?

22 Oktober 2021   05:52 Diperbarui: 22 Oktober 2021   05:54 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Juli 1982 ketika diantar almarhum bapak melewati sawah dan perkampungan menuju sebuah pesantren kecil di Moga, Pemalang, Jawa Tengah.  Jalan kaki dari rumah karena memang tidak kendaraan menuju ke sana. 

Padahal, oleh guru SD, saya sudah diantar mendaftar di SMP Negeri 1 Adiwerna karena sekolah itu, katanya, merupakan sekolah terbaik. Akan tetapi, terlalu jauh dari kampungku yang bersebelahan dengan gunung Slamet. 

Di kota kecamatan sendiri baru dibangun gedung SMP. Tapi belum banyak yang masuk sekolah baru itu. Bukan karena sekolah di tempat lain, tapi memang belum banyak yang sadar akan pentingnya pendidikan. 

"Belajar bukan untuk kepentingan dunia. Kalau kamu di pesantren, paling tidak kamu bisa bacain Yasin waktu bapak mati nanti, " itulah cita cita bapak kenapa anaknya dimasukkan pesantren. 

Tapi tentu bukan hanya itu. Biaya hidup yang juga dihitung. Anaknya ada 10 kepala. Maka, penghasilan nya sebagai petani tuk tuk harus dipertimbangkan. Kalau sekolah di kota, pasti biaya kos akan mahal. 

Pesantren memang menjadi jalan penolong bagi kami. Warga kampung yang jauh dari sekolah sekolah negeri yang dibangun pemerintah. Warga kampung yang cuma hidup dari kebaikan Tuhan melalui alam raya. 

Dengan beras sepuluh liter setiap bulan. Ya, kami masak sendiri. Hanya beli lauk saja di warung. Dan uang sepuluh ribu. Cukup untuk hidup sebulan di pesantren. 

Enam tahun hidup dalam sebuah dunia yang disebut pesantren. Setelah lulus Aliyah, saya pun mencoba peruntungan ke sebuah perguruan tinggi paling memungkinkan untuk diraih. Pilihan nya IKIP. Dan karena ada saudara yang tinggal dekat Rawamangun, IKIP jakarta menjadi pilihan. 

Pesantren memang benar benar menjadi dewa penolong bagi kami orang orang kampung untuk memperoleh pendidikan.  Tanpa pesantren, entah kami jadi apa, karena tak punya pendidikan babar blaz. 

Semoga pemerintah semakin memperhatikan pendidikan di pesantren. Karena, masih banyak pendidikan pesantren yang belum bisa mengimbangi kemajuan pendidikan pada umumnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun