Juli 1982 ketika diantar almarhum bapak melewati sawah dan perkampungan menuju sebuah pesantren kecil di Moga, Pemalang, Jawa Tengah. Â Jalan kaki dari rumah karena memang tidak kendaraan menuju ke sana.Â
Padahal, oleh guru SD, saya sudah diantar mendaftar di SMP Negeri 1 Adiwerna karena sekolah itu, katanya, merupakan sekolah terbaik. Akan tetapi, terlalu jauh dari kampungku yang bersebelahan dengan gunung Slamet.Â
Di kota kecamatan sendiri baru dibangun gedung SMP. Tapi belum banyak yang masuk sekolah baru itu. Bukan karena sekolah di tempat lain, tapi memang belum banyak yang sadar akan pentingnya pendidikan.Â
"Belajar bukan untuk kepentingan dunia. Kalau kamu di pesantren, paling tidak kamu bisa bacain Yasin waktu bapak mati nanti, " itulah cita cita bapak kenapa anaknya dimasukkan pesantren.Â
Tapi tentu bukan hanya itu. Biaya hidup yang juga dihitung. Anaknya ada 10 kepala. Maka, penghasilan nya sebagai petani tuk tuk harus dipertimbangkan. Kalau sekolah di kota, pasti biaya kos akan mahal.Â
Pesantren memang menjadi jalan penolong bagi kami. Warga kampung yang jauh dari sekolah sekolah negeri yang dibangun pemerintah. Warga kampung yang cuma hidup dari kebaikan Tuhan melalui alam raya.Â
Dengan beras sepuluh liter setiap bulan. Ya, kami masak sendiri. Hanya beli lauk saja di warung. Dan uang sepuluh ribu. Cukup untuk hidup sebulan di pesantren.Â
Enam tahun hidup dalam sebuah dunia yang disebut pesantren. Setelah lulus Aliyah, saya pun mencoba peruntungan ke sebuah perguruan tinggi paling memungkinkan untuk diraih. Pilihan nya IKIP. Dan karena ada saudara yang tinggal dekat Rawamangun, IKIP jakarta menjadi pilihan.Â
Pesantren memang benar benar menjadi dewa penolong bagi kami orang orang kampung untuk memperoleh pendidikan. Â Tanpa pesantren, entah kami jadi apa, karena tak punya pendidikan babar blaz.Â
Semoga pemerintah semakin memperhatikan pendidikan di pesantren. Karena, masih banyak pendidikan pesantren yang belum bisa mengimbangi kemajuan pendidikan pada umumnya.Â