Pasang baliho biar terkenal. Jaman sekarang itu, kalau mau jadi politisi harus terkenal. Tak kenal maka kenalan ajah. Tapi kalau satu satu jan gak efektif. Lagian politisi cuma pengen dirinya yang terkenal. Bukan mau mengenal nasibmu.Â
Kalau kebetulan ada politisi pengen kenal nasibmu, itu baru politisi aneh di negeri ini. Karena aneh, makanya jadi susah adanya, bahkan cenderung sudah punah.Â
Berbeda sama jalan Ahok. Waktu jadi gubernur DKI begitu terkenal karena mempermudah segala sesuatu yang tadinya disusah susahin. Karena dari dulunya birokrasi diciptakan oleh Belanda, katanya buat begituan. Akhirnya, keterusan nyame sekarang. Keterlaluan.Â
Jalan Ahok jalan menabrak tembok. Terutama tembok mafia. Dibobolnya pertahanan para mafia. Terutama mafia anggaran. Sehingga waktu itu seingat saya tak ada yang namanya kelebihan bayar. Bayar kok ya dilebihin. Baik apa bodoh tuh yang begitu.Â
Nurani rakyat tahu kok, siapa yang ngebela mereka sama yang pura-pura ngebela. Â Spanduk atau baliho itu kan bisa masuk ke kategori kedua. Maunya dewek doang. Untung di due, rugi di lu. Sebodoh amat.Â
Jadi, kalau mau dikenal sekaligus dikenang, ikutin aja jalan Ahok. Bela rakyat. Hadapi para mafioso. Dengan cara segila apa pun. Karena hanya kegilaan yang bisa mengalahkan kebobrokan moral mafioso.Â
Kerja enggak. Bela rakyat enggak. Terus mendadak baliho. Bikin semua mata melotot kesel liat wajah wajah borju yang tak pernah merasakan hidup sebagai jelata.Â
Ayo, turun ke jalan. Tempuh lumpur dan banjir. Bukan cuma teriak teriak dari Jakarta. Di gedung berpendingin. Sambil menikmati snak dari luar negeri.Â
Iya. Jangan ngejogrok di pinggir jalan sambil pasang senyum paling manis. Padahal, banyak mereka yang kehilangan pekerjaan. Harus berpikir besok makan apa.Â