Laki-laki itu terlihat gelisah. Jam dinding seperti sudah kecapean meniti waktu. Jarum jam terus menunjuk nunjuk angka 1.
"Saya harus segera pergi, " gumam laki-laki itu.Â
Tapi laki-laki itu masih tetap duduk di bangku kafe yang buka 24 jam itu. Kafe yang selalu terisi penuh oleh orang orang yang di wajahnya tersembul tanda luka yang cukup kentara.Â
Termasuk laki-laki itu. Laki-laki yang usianya mungkin 50 tahun jika dicermati wajahnya yang masih cukup keras.Â
Beberapa laki-laki tampak keluar kafe. Tapi, di saat yang sama juga terlihat beberapa laki-laki yang masuk. Wajahnya hampir sama. Sedikit beku dan mengeras.Â
"Saya harus segera pergi, " ulang laki-laki itu masih terdengar seperti gumam.Â
Hanya saja ketika kakinya hendak diangkat, laki-laki itu tampak ragu. Kaki yang sudah setengah terangkat dikembalikan pada posisi semula.Â
Wajah laki-laki itu yang semakin mengeras dan membeku.Â
Ada seorang perempuan di salah satu bangku tak jauh dari laki-laki itu yang sudah cukup lama memperhatikan setiap apa yang dilakukan laki-laki itu. Ia hanya memandang datar saja pada laki-laki itu.Â
"Nanti, kamu akan ketemu seorang laki-laki yang hendak pergi ke surga. Cegah dia semampu kamu. Dia laki-laki yang sudah tertulis akan menjadi suamimu yang terakhir, " perempuan itu masih teringat kata kata ibunya sebelum perempuan paling memahami dirinya itu pergi untuk selamanya.Â