Negara negara Arab harusnya memiliki tanggung jawab lebih besar terhadap nasib Palestina. Â Kekalahan negara negara Arablah yang menjadi awal kondisi Palestina di bawah pendudukan Israel.Â
Sayangnya negara negara Arab tak pernah menjadi negara besar. Selalu saja bertarung di antara mereka sendiri, sehingga mereka lemah. Tentu permainan negara asing ikut memperparah kondisi negara negara Arab.Â
Sebetulnya, potensi besar itu ada di Mesir, Suriah, dan Irak. Tapi ketiga negara itu saat ini belum bisa diandalkan untuk memimpin koalisi Arab, paling tidak untuk memperjuangkan kepentingan mereka menghadapi Israel.Â
Mesir terlihat belum kokoh benar seusai diterpa musim semi Arab dan sempat di pimpin oleh sipil beberapa waktu lalu. Mesir masih belum bisa diharapkan sekokoh zaman Gamal Naser.Â
Demikian juga Suriah. Jangankan untuk tampil memimpin koalisi Arab. Menyatukan kembali negaranya yang terbelah oleh ISIS saja masih belum mampu. Padahal di bawah kepemimpinan Asad atau bapaknya Basar, Suriah cukup disegani oleh Israel.Â
Demikian juga dengan Irak. Â Di bawah Sadam Husen, Irak mampu memimpin negara negara Arab dalam menghadapi Israel. Â Keunggulan persenjataan Irak sempat mampu mengimbangi persenjataan Israel.Â
Sehingga, Israel sempat terpaksa mau berkompromi dalam perundingan Oslo saat roket roket yang dikirim Sadam mampu menjangkau wilayahnya. Sadam benar benar menjadi duri bagi Israel.Â
Israel tidak akan tenang selama Sadam masih berkuasa di Irak. Maka segala upaya pun ditempuh untuk menghilangkan ancaman tersebut.Â
Dan Amerika pun seakan menjadi kaki tangan. Â Amerika meruntuhkan Sadam Husen dengan alasan yang sampai kini tak terbukti. Sehingga Sadam pun digulung dari kekuasaan yang telah ikut menopang nasib Palestina.Â
Kini, nasib Palestina sangat bergantung pada tiga negara muslim besar non Arab. Pertama, Turki. Sebagai bekas pemilik Kesultanan terbesar Islam, Turki masih mewarisi kemampuan memimpin koalisi negara negara Islam.Â