Sore ini aku duduk di teras rumah. Di seberang jalan ada sebatang pohon mangga yang sepuluh tahun lalu aku tanam. Dari biji yang sayang jika dibuang.Â
Mendadak hujan turun. Deras sekali. Bukan hanya deras tapi juga disertai angin yang begitu kencang. Suaranya sangat bergemuruh. Lumayan menakutkan.Â
Usiaku sekarang sudah 50 lebih satu. Tentu bukan usia muda lagi. Sebentar lagi juga memasuki usia pensiun.Â
Mangga itu sedang berbunga. Bunganya lebat. Lebat sekali. Dalam hati berpikir bahwa sebentar lagi panen mangga lebih banyak.Â
Aku sendiri tak bisa naik pohon. Berat badan yang nyaris 80 kilo jelas kurang bagus untuk naik naik pohon. Udah gitu, kaki juga suka gemeteran.Â
Panen mangga biasanya bareng bareng satu gang. Kebetulan cuma sebelah. Kira kira ada 9 rumah berjejer. Dengan usia yang nyaris sama.Â
Seperti sebuah pesta kecil kecilan. Lumayan sebagai upacara keakraban karena kita jarang sekali bisa ngumpul. Di situlah kita saling sapa.Â
Kembali ke pohon mangga. Pohon yang bunganya begitu lebat tahun ini. Dan pikiran ku melayang ke masa lalu. Jauh ketika masih tinggal di kampung.Â
Bapak seorang petani. Mengandalkan penghasilan dari buah yang ada. Kalau buah banyak tentu akan sangat menggembirakan hatinya.Â
Suatu sore. Seperti sore ini juga, bapak kelihatan murung. Aku tak bisa nanya. Takut kalau mengganggu beliau.Â