Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Laki-laki Kalah

7 Maret 2021   10:43 Diperbarui: 7 Maret 2021   10:52 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Laki-laki itu tetap saja meratap. Sorot matanya begitu redup. Tak ada lagi warna yang dulu selalu aku banggai bersama teman teman. 

"Matanya menghujam, " kata Tutik meledekku. 

"Biasanya kerisnya tajem. Dengan lekuk tujuh yang menyayat, " tambah Safina. 

Entah mengapa. Sebetulnya, aku sendiri tak begitu peduli.  Pada laki-laki yang menjadi dambaan perempuan di kampung ku itu. Teman temanku yang begitu ramai mengidolakan nya. 

Anehnya, Didi justru memilih aku. Katanya ada sesuatu yang tersembunyi dalam sorot mataku yang lembut. Aku sendiri waktu itu tidak begitu faham. Baru saat ini, aku memahami itu semua. 

"Kamu harus minum jamu setiap pagi dan sore, " tambah Vivi. 

"Emang kenapa, Video?" tanya Safina sambil tersenyum. 

"Buat ngimbangin kekuatan Didilah. Badan kayak gitu, bisa minta jatah lima kali semalam. "

Dan mereka semua tertawa. Cuma aku yang tersenyum. 

Malam semakin larut. Dia masih terpuruk di ujung kasur. Benar benar kalah total. 

Malam ini merupakan malam ketigabelas dari pernikahan ku dengannya. Tapi belum juga dia berhasil membobol pertahanan ku.  Bukan karena pertahanan ku yang terlalu kuat tapi lebih karena serangan Didi yang terlalu lemah. 

Aku sendiri tidak mempermasalahkan itu. Tapi, laki-laki yang sekarang menjadi suamiku itu terlalu merasa bersalah. 

Dan perasaan bersalah itulah yang semakin membuat serangan serangan yang dilakukan nya selalu patah di tengah jalan. Dan terpuruk kembali meratap penuh pilu. 

"Tak apa, Kang. Kita ulangi lagi, Yuk! " aku tuntun dia agar bangkit. 

Kemudian aku jelajahi hutan dan tanah tanah gersang itu. Ada mulai bangkit tertandakan. Dan ada senyum laki-laki penuh makna. 

Hanya saja, serangan berikutnya seakan menghajar gunung batu paling purba. Patah sebelum sampai menembus dan mengeluarkan lahar paling panasnya. 

"Kamu harus menerima dulu keadaan mu, Kang. Jangan coba kau tolak. Kemudian baru kamu bangkit kan perlahan. Tak usah dipaksakan. "

Dan ketika pagi menjelang, terpaksa pertempuran dihentikan. Rencana nya akan dicoba lagi, lagi, dan lagi. Hingga pertahanan bisa ditembus dan ditaklukkan. 

"Ini yang aku harapkan darimu sejak dulu. Kelembutan itu. Pasti aku akan sanggup lagi menjadi laki-laki sejati. "

Aku tersenyum. Aku tetap menyayangi laki-laki itu. Meski dia selalu merasa salah. Dan kalah. Dunia jan tidak melulu persoalan itu? 

Selamat hari Minggu, bagi yang merayakan nya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun