Malam semakin larut. Dia masih terpuruk di ujung kasur. Benar benar kalah total.Â
Malam ini merupakan malam ketigabelas dari pernikahan ku dengannya. Tapi belum juga dia berhasil membobol pertahanan ku. Â Bukan karena pertahanan ku yang terlalu kuat tapi lebih karena serangan Didi yang terlalu lemah.Â
Aku sendiri tidak mempermasalahkan itu. Tapi, laki-laki yang sekarang menjadi suamiku itu terlalu merasa bersalah.Â
Dan perasaan bersalah itulah yang semakin membuat serangan serangan yang dilakukan nya selalu patah di tengah jalan. Dan terpuruk kembali meratap penuh pilu.Â
"Tak apa, Kang. Kita ulangi lagi, Yuk! " aku tuntun dia agar bangkit.Â
Kemudian aku jelajahi hutan dan tanah tanah gersang itu. Ada mulai bangkit tertandakan. Dan ada senyum laki-laki penuh makna.Â
Hanya saja, serangan berikutnya seakan menghajar gunung batu paling purba. Patah sebelum sampai menembus dan mengeluarkan lahar paling panasnya.Â
"Kamu harus menerima dulu keadaan mu, Kang. Jangan coba kau tolak. Kemudian baru kamu bangkit kan perlahan. Tak usah dipaksakan. "
Dan ketika pagi menjelang, terpaksa pertempuran dihentikan. Rencana nya akan dicoba lagi, lagi, dan lagi. Hingga pertahanan bisa ditembus dan ditaklukkan.Â
"Ini yang aku harapkan darimu sejak dulu. Kelembutan itu. Pasti aku akan sanggup lagi menjadi laki-laki sejati. "
Aku tersenyum. Aku tetap menyayangi laki-laki itu. Meski dia selalu merasa salah. Dan kalah. Dunia jan tidak melulu persoalan itu?Â