Laki-laki itu tetap saja meratap. Sorot matanya begitu redup. Tak ada lagi warna yang dulu selalu aku banggai bersama teman teman.Â
"Matanya menghujam, " kata Tutik meledekku.Â
"Biasanya kerisnya tajem. Dengan lekuk tujuh yang menyayat, " tambah Safina.Â
Entah mengapa. Sebetulnya, aku sendiri tak begitu peduli. Â Pada laki-laki yang menjadi dambaan perempuan di kampung ku itu. Teman temanku yang begitu ramai mengidolakan nya.Â
Anehnya, Didi justru memilih aku. Katanya ada sesuatu yang tersembunyi dalam sorot mataku yang lembut. Aku sendiri waktu itu tidak begitu faham. Baru saat ini, aku memahami itu semua.Â
"Kamu harus minum jamu setiap pagi dan sore, " tambah Vivi.Â
"Emang kenapa, Video?" tanya Safina sambil tersenyum.Â
"Buat ngimbangin kekuatan Didilah. Badan kayak gitu, bisa minta jatah lima kali semalam. "
Dan mereka semua tertawa. Cuma aku yang tersenyum.Â