Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ibu, dan Cerita yang Tercecer

7 Februari 2021   14:48 Diperbarui: 7 Februari 2021   15:20 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kamu tentu pernah merasakan kehidupan paling nyaman di dunia ketika digendong oleh seorang perempuan yang selalu kamu panggil ibu. Aku masih terus mengingat kehangatan itu. 

Tapi kemudian kamu menyaksikan senyum ibu musnah direnggut oleh laki-laki yang ibu suruh dipanggil ayah. Laki laki bajingan yang mungkin akan kamu selesaikan urusan nya di dunia ini sendiri. 

"Ibu kan bisa melawan, " aku cuma bisa menangis melihat darah yang menitis di mulut ibu. 

"Ibu tak punya apa-apa di kota ini. Dan kamu? Ibu tak ingin kamu terlunta-lunta. "

Tapi tetap saja ibu tinggal di rumah itu. Rumah milik laki laki itu. 

Sampai suatu pagi  aku cuma bisa berdiri terpukau di pintu kamar ibu. Ya, ibu sudah terbujur kaku dengan darah yang sudah mengering. 

Laki-laki itu tidak ada. Entah pergi ke mana. Ingin rasanya menghajar laki-laki itu. Demi ibu. 

Seorang polisi baik akhirnya mengangkat ku sebagai anak. Dia tak punya anak. Kehangatan pak polisi dan istrinya yang kemudian aku panggil ibu juga. 

Aku besar dalam kasih sayang pak polisi itu. Tak ada kurang apa pun. Hingga aku di sekolah kan hingga sarjana. Beruntung lah aku. 

Dan pemuda itu mulai mendekatiku. Aku suka dengan ketelatenan dia menemaniku . Banyak hal dia tuntun perjalanan ku. 

Sampai suatu hari aku diperkenalkan dengan orangtua nya. Di sebuah kampung nanti asri. 

Dan alangkah kagetnya aku. Ternyata laki-laki itu ada di situ. Dia mengaku sebagai orang tua Salim, sebut saja seperti itu. Pemuda yang mulai dekat dengan ku. 

"Benar dia bapakmu? "

"Sebetulnya dia bapak sambung. bapakku sendiri sudah lama meninggal. "

Benar juga. Kamu tahu bagaimana perasaanku? Benar benar tak normal. Ingin rasanya aku segera mencari sebilah pisau paling tajam. Mengendap masuk kamarnya. Dan menyelesaikan semua. 

"Ibu, haruskah aku berdiri bersama orang yang telah melukaimu? "

Ya, ingin rasanya bercerita semuanya pada Salim, agar dia bisa memutuskan untuk memilih. Dan ketika pilihan itu sudah ada, kemungkinan besar Salim akan memilih ku. Lantas dendam ini dituntaskan? Seperti rindu, dendam juga harus dituntaskan, kata Eka Kurniawan. 

Ibu, haruskah aku merapikan ceritamu yang sempat tercecer? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun