Gerimis belum reda, malam itu. Ketika aku disuruh bapak mengantarkan uang hasil menjual pisang milik wak Juraij. Agak malas karena harus melewati sawah untuk sampai ke rumah wak Juraij. Tapi perintah bapak tak mungkin ditolak.Â
Sinar bulan agak temaram. Padahal tanggal 12-an kayaknya. Lumayan juga sih untuk sedikit menunjukkan jalan setapak itu. Aku sudah hafal banget jalan ke rumah Wak Juraij. Karena setiap hari kalau ke sekolah juga lewat jalan tersebut. Jumlah batu yang memungkinkan seseorang bisa tersandung saja aku hafal.Â
Setelah sawah ada satu rumah kecil milik Yu Tinah. Dia tinggal sendiri di rumah itu. Suaminya kabarnya pergi meninggalkan dia, ada juga yang bilang suaminya dibunuh bapaknya Yu Tinah karena tak setuju pernikahan dengan anaknya.Â
Yu Tinah sebetulnya anak orang kayak di kampung itu, tapi dia lebih senang sendiri di rumah kecil itu. Orang bilang sih karena sudah tak diakui keluarga nya.Â
Yu Tinah masih keliatan cantik. Hanya saja, orang sering menganggap Yu Tinah agak gila setelah ditinggal suaminya.Â
Pas aku sampai di dekat rumah Yu Tinah itulah, mendadak hujan menjadi begitu besar. Sehingga aku terpaksa mencari teduhan di emper rumah Yu Tinah.Â
"Sepi?" tanya seseorang.Â
"Hujan hujan begini, paling juga pada selimutan di rumah, " jawab temannya.Â
Aku melihat dua bayangan menuju ke arahku. Ali segera menyingkir kesamping rumah.Â
Ketika ada kilat, bayangan dua orang itu terlihat jelas. Orang itu menuju ke pintu depan.Â