Tak ada yang lebih indah melebihi hujan bulan Januari, suara rintiknya yang ritmis menelusupkan cinta mengusir sepi.
Itu puisi yang selalu kau bisikan di telingaku ketika aku merindukanmu. Selalu. Dan selalu. Sampai aku bingung sendiri, sebetulnya sedang merindukanmu atau bisikkan puisimu itu.Â
Kamu suka hujan?Â
Aku selalu mengangguk sambil terus memejamkan mata menikmati suara jari jari hujan mengetuk ngetuk apa pun yang ada di sekitar kita. Dan kamu pun kemudian duduk memejamkan mata sambil pura pura ikut menikmati nya.Â
Bagaimana aku tak suka hujan. Karena hujan juga aku ketemu kamu kan?Â
Sore itu, aku malas pulang. Bukan hanya karena macet tapi juga karena mendukung menggelayut yang sebentar lagi akan tercurah ke seantero Jakarta.Â
Entah kenapa aku pengin ngopi di kafe itu. Sengaja aku memilih meja paling ujung agar aku dapat melihat hujan. Tapi, aku waktu belum begitu menyukai hujan.Â
Lalu, kamu datang. Memperkenalkan diri kemudian kita bercakap hingga larut malam. Seakan kita sudah kenal begitu lama.Â
Kamu suka hujan?Â
Kalimat itu yang masih aku ingat hingga kini. Kau bertanya dan aku hanya mengangguk, mengiyakan, walaupun masih belum yakin benar. Anggap saja untuk menyenangkan mu yang menganggap setiap orang yang melihat hujan sebagai mencintainya.Â