Entah mengapa, beberapa pengusaha wateg sukses yang saya kenal ternyata hanya tamat SD dan SMP. Mereka bahkan tak mengenyam bangku SMA.Â
Apakah hal ini disebabkan pendidikan yang belum mampu membangun jiwa enterpreneur para peserta didiknya?Â
Kemungkinan besar jawabannya, iya. Pendidikan kita sering dikritik oleh para pengamat justru telah Mencerabaut peserta didik dari akar tempat hidupnya.Â
Seharusnya, jiwa pengusaha, dalam hal ini orang Tegal ya mendirikan warteg sudah menjadi jiwa anak Tegal. Mereka akan muncul sebagai warteg warteg handal setelah mampu bersekolah lebih baik.Â
Ternyata tidak juga. Iya, pengusaha warteg dapat dipastikan orang Tegal tapi bukan mereka yang terdidik. Sehingga wajah warteg akhirnya tak pernah berubah dari kesan kumuhnya. Belum ada satu pun warteg yang mampu merambah Mall, misalnya.Â
Masa iya sih, dari jaman jebot hingga milenial tak ada satu pun yang bisa mengubah imej warteg sebagai penyedia makan bagi kaum pinggiran?Â
Sikap kritis memang sangat diperlukan bagi seorang enterpreneur. Demikian juga sikap inovatif.Â
Akan tetapi, lebih dari sikap kritis dan inovatif, sikap berani berbuat sangat dibutuhkan. Â Sikap kritis tentu merupakan dasar. Ketika melihat sebuah kenyataan faktual, seorang yang kritis tidak mau menerima begitu saja sebagai sesuatu yang ada.Â
Sikap kritis muncul dengan pertanyaan pertanyaan gugatan. Kemampuan mempertanyakan ini yang kurang diberikan fokus oleh guru dalam pembelajaran. Sehingga, sampai saat ini masih tertanam di benak siswa bahwa mereka yang bertanya adalah siswa bodoh. Akibatnya, siswa enggan bertanya karena takut dicap sebagai bodoh.Â
Kemampuan bertanya kurang dieksplorasi sebagai sebuah keterampilan dasar hidup di masa depan. Apalagi jika ingin menjadi seorang enterpreneur.Â