guru diberi gelar juga sebagai Pahlawan. Tapi ada terusannya, Tanpa Tanda Jasa. Gelar itu diberikan oleh rezim Orde Baru. Mungkin, banyak Kompasianer muda yang cuma mendengar dari cerita atau membaca buku buku.Â
Akhirnya,Sepertinya, sebuah penghargaan dari pemerintah untuk guru-guru di seluruh pelosok negeri yang sudah berjuang demi kemajuan pendidikan tanah air. Lagi lagi, sepertinya.Â
Karena cukup banyak guru guru, terutama guru guru muda pada saat itu yang menolak gelar pahlawan tersebut. Kenapa?Â
Logika kritis anak muda waktu itu, gelar itu cuma sebagai kamuflase Orde Baru untuk menutupi kebobrokan dalam pengelolaan pendidikan semata. Â Terutama dalam mengelola dunia keguruan.
Guru pada saat negeri ini belum merdeka merupakan profesi yang sangat tinggi. Â Sehingga tidak heran jika para pahlawan negeri ini juga banyak berasal dari dunia guru.Â
Setelah kemerdekaan, guru juga masih menjadi kelompok elite. Mendapatkan penghargaan dengan baik pula. Sehingga pemuda pemuda yang menempuh pendidikan menjadi calon guru adalah pemuda pemuda terbaik juga.Â
Cerita tentang pemuda pemuda negeri jiran datang menimba ilmu ke negeri ini, bukan sebuah cerita luar biasa. Cerita seperti itu sudah menjadi cerita biasa. Karena mutu pendidikan di negeri ini lebih baik.Â
Ketika, mereka tidak puas dengan mengirimkan pemuda pemudanya belajar di negeri ini, mereka pun menghadirkan guru guru hebat dari negeri ini untuk mengajar di negeri jiran. Setiap membaca cerita seperti itu, sebab calon guru waktu itu, sangat lah bangga.Â
Akan tetapi, berbeda saat Orde Baru berkuasa. Komitmen bagus terhadap pendidikan hanya terlihat dari pembangunan masif SD SD inpres di pelosok negeri ini. Pengelolaan guru betul-betul dilupakan.Â
Guru tak lagi menjadi sesuatu yang membanggakan. Bagaimana bisa membanggakan, jika gaji guru yang mengajar puluhan tahun pun lebih rendah dari gaji muridnya yang baru lulus sekolah?Â
Sehingga menjadi wajar jika pemuda pemuda terbaik tak lagi tertarik memasuki pendidikan calon guru. Pendidikan calon guru menjadi pilihan terakhir, ketika sudah tak lagi kaki bisa melangkah ke mana-mana.Â