Tuduhan itu langsung ditujukan pada diriku. Padahal, aku sudah sedemikian rupa menjaga diri agar tetap menjadi suami terbaik bagi Viona, istri keduaku.Â
"Sebentar lagi, kamu pasti akan menyuruh Viona keluar dari pekerjaan dia. Kamu akan menjadikan Viona sebagai penghuni dapur, " kata Sisi, istri pertamaku saat ketemu di kantin kantor.Â
Aku dan Sisi satu gedung walaupun lain perusahaan. Dulu, aku mengenalnya ketika makan siang di kantin ini juga. Setelah resmi cerai kami masih sering ketemu, bahkan ngobrol. Tak ada rasa benci karena kami berpisah karena kesadaran berdua atas perbedaan prinsip hidup.Â
Sisi seorang perempuan tak biasa. Karena Sisi juga sangat getol membela hak hak perempuan. Terutama berkaitan dengan kekerasan simbolik.Â
"Aku belum siap punya anak, " kata Sisi. Dulu, ketika perkawinan mereka menginjak usia tahun ketiga. Tahun kritis untuk sebuah perkawinan.Â
"Tapi aku tak bisa mengindari pertanyaan orangtuaku, " kataku meminta pemahaman nya.
"Siapa juga yang akan menjaga anak kita? "
"Masa aku? "
"Kamu anggap aku yang harus menjaga anak? "
"Terus kenapa harus aku juga? "
"Karena kamu seorang istri. "