Anies geram karena ada toa dalam penanggulangan banjir di Jakarta. Â Toa itu katanya hibah dari Jepang. Di Jepang sendiri toa itu dipergunakan untuk peringatan dini ketika terjadi Tsunami. Karena informasi perlu disampaikan secepat mungkin. Tapi, untuk banjir dan di Jakarta?Â
Inilah perlunya berpikir kritis. Apalagi dalam sebuah penanganan bencana. Â Jika bencana ditanggulangi secara asal asalan, maka bencana tersebut bukan tertanggulangi eh, malah beranak pinak.Â
Birokrasi perlu orang orang cerdas. Berpikir untuk kemaslahatan masyarakat. Bukan malah berpikir yang penting bekerja. Bekerja tanpa berpikir juga ngaco. Â Bekerja harus dilandasi oleh pemikiran matang. Â Birokrasi bodoh hanya akan menjadi beban. Beban masyarakat, juga beban negara.Â
Apakah banjir Jakarta merupakan banjir dadakan seperti dadakannya tsunami di Jepang?Â
Jelas tidak! Kata Anies dalam kegeramannya. Banjir Jakarta lebih sering karena hujan lebat berjam jam dengan curah hujan tinggi. Â Apalagi jika ada kiriman dari Bogor sebagai hulu. Â Perjalanan dari Bogor juga perlu waktu. Tidak mendadak sampai Jakarta.Â
Maka, anggaran toa adalah anggaran mubazir. Anggaran yg tidak didasari pemikiran cerdas tentang banjir Jakarta. Padahal, banjir Jakarta bukan baru sekali loh. Jadi seharusnya sudah ada kajian matang dan tentunya cerdas oleh para pakar yang sudah dimiliki birokrasi Jakarta dalam penanggulangan banjir.Â
Pantas saja Anies geram. Anies pasti tahu bahwa dengan WA grup saja sudah lebih dari cukup. Tanpa perlu mengeluarkan anggaran sehingga anggaran dapat diperuntukkan ke hal hal yang lebih urgen.Â
Jika birokrasi cerdas, banjir jakarta yang selalu menjadi tamu langganan sudah diantisipasi penanggulangan nya dengan baik. Â Semua perangkat selalu siaga. Semua kebutuhan penanggulangan tak pernah bikin kelabakan.Â
Ya, inilah bukti bahwa birokrasi memang harus cerdas. Birokrasi bukan sekumpulan manusia gemuk yang malas berpikir. Birokrasi bukan sekumpulan manusia penghambat tapi sudah menjadi sekumpulan pionir.Â