Buang saja mata pelajaran bahasa jika gurunya cuma sibuk mengajarkan kepada siswa-siswinya cara mengeja kata. Tak ada manfaat, tak ada guna.Â
Belajar bahasa harus melewati fase mengeja kata, kalimat, bahkan wacana. Belajar bahasa berarti belajar tentang dunia. Belajar apa di balik kata, kalimat, dan wacana.Â
Pernah mendengar tentang lembaga pemasyarakatan untuk mengganti kata penjara?Â
Bukan sekadar kata kata. Order baru waktu itu sedang mengolah pikiran kita. Sedang menundukkan warganegara di dalam ketiak baunya. Â Sebuah penindasan yang seakan dimaklumi sebagai pertolongan.Â
Pernah mendengar kata penyesuaian harga untuk menutupi aneka kenaikan harga yang dapat membuat rakyat negeri ini murka?Â
Lagi lagi, bukan cuma sebuah kata. Sebuah rezim juga berdiri dan memanfaatkan kata kata untuk kelanggengan penindasan mereka kepada siapa pun yang hendak melawannya.Â
Lalu, di ruang ruang kelas masih mengajarkan bahasa sebagai rangkaian kata untuk membentuk kalimat, dan kemudian dirangkai ulang untuk membangun sebuah wacana?Â
Keterlaluan!Â
Seharusnya, pembelajaran bahasa di ruang rusng kelas sudah menjadi arena untuk menanamkan kesadaran kepada setiap siswa. Harusnya pembelajaran bahasa di sekolah menjadi arena untuk membangun sikap kritis para generasi muda.Â
Ada pembelajaran tentang fakta dan opini. Untuk apa? Jelas untuk membangun kesadaran kritis dalam memandang realitas. Opini bukan fakta. Dan fakta tak bisa dibungkus dalam kertas busuk bernama opini.Â
Dari satu materi ini saja, seorang guru dapat menjadi seorang penghalau hoax yang bertebaran dan mengganggu logika waras kita. Khayalan khayalan tentang khilafah akan segera mental ketika daya kritis dibangkitkan. Hantu komunisme dilawan dengan sikap kritis bukan ketakutan ketakutan minus logika.Â