Anak anak itu masih polos. Masih bersih. Dan, mencintai itu sudah menjadi kodrat manusia. Sedang kebencian selalu ditanamkan.Â
Nyatanya, murid-murid saya toleran banget tuh. Gak pernah mempersoalkan temannya yang Syi'ah. Tidak seperti kebencian yang diimpor dari Arab Saudi terhadap Syi'ah. Bahkan menganggap Syi'ah sebagai bukan Islam.Â
Si Anak Syi'ah ini memang pinter ngaji. Sekarang sudah tamat dan entah meneruskan ke mana. Juga berakhkak baik, terhadap guru dan terhadap temannya.Â
Memang, tidak semua tahu jika dia Syi'ah. Tapi juga tak sedikit yang tahu jika dia Syi'ah tapi tak mempersoalkan kesyiahan temannya itu.Â
Jadi, toleransi terhadap agama lain sudah lumayan di negeri ini. Walaupun di sana sini masih cukup memprihatinkan. Akan tetapi toleransi internal justru yang semakin ke sini semakin parah. Misalnya saja, toleransi umat Islam terhadap Syi'ah dan Ahmadiyah. Semakin ke sini semakin terkikis akibat politik Arab Saudi yang bocor dan terus diindroktinasi ke negeri ini. Kita tahu semua, persaingan politik Arab Saudi dengan Iran. Persaingan politik yang melebar ke sikap beragama.Â
Sekali lagi, dalam tulisan pendek ini, saya cuma ingin menegaskan bahwa sikap toleran sudah menjadi fitrah setiap manusia yang diberikan oleh Tuhan secara cuma cuma. Hanya saja, orang orang kemudian menggantikan sikap dasar itu dengan pembelajaran kebencian. Hanya karena politik belaka.Â
Oleh karena itu, mari kita besarkan sikap fitrah anak anak kita itu. Kita jauhkan dari kebencian kebencian yang merugikan semuanya. Bahkan pada si pembenci itu sendiri.Â
Tuhan toh sengaja menjadikan kita berbeda. Kenapa kita alergi dengan apa yang sudah direncanakan Tuhan?Â
Tak ada toh yang bisa memilih untuk dilahirkan berkulit hitam, putih, atau berwarna. Tak ada bedanya di hadapan Sang Maha Pencipta.Â
Ketika di negara yang dibilang sebagai Mbahnya Demokrasi saja, toleransi sebegitu mahalnya, maka kita sebaiknya tetap menjaga dan meneruskan sikap toleran para pendiri bangsa ini.
Turut berduka untuk Amerika.Â