Gelayut mendung membuat jalanan setapak itu agak samar terlihat. Kakiku terkadang terantuk batu yang nongol sebagian dari dalam tanah jalanan yang tak rata.Â
"Sebentar lagi sampai, " bisikku pada kaki yang seakan hendak menyerah.Â
Tinggal satu kelokan. Seratus meter ada sebuah gubuk. Ketika saja. Walaupun dia sudah sepuh, ia akan tetap bisa mendengarnya. Pendengarannya malah lebih tajam dari pendengaran kita.Â
Semoga pesan yang kuterima dari Arin benar. Dan Semoga kakiku masih bisa diajak kompromi.Â
"Kamu akan melewati jalanan setapak dan menanjak. Kalau mendung dari hari senja, kau mungkin juga akan kesasar. Hanya hatimu yang aja mampu menuntunmu sampai ke rumahnya, " kata Arin, antara meyakinkan dan melakukan percobaan uji niat.Â
Dan benar juga. Tanpa niat yang kuat, siapa pun akan lebih baik balik kanan, pulang ke kandang. Tenteram. Meski kalah.Â
Aku sendiri sudah pasrah. Karena hanya ini satu satunya cara untuk menyelamatkan biduk rumah tanggaku.Â
"Tidak bisa pakai akal lagi, " kata Arin, sahabatku yang selalu menjadi ajang curhat tetek bengek kelakuan suamiku sejak setahun belakangan ini.Â
"Lalu...? "
"Musuhmu seorang artis. Bukan hanya artis belaka, tapi semua orang tahu jika (Arin menyebut nama perempuan laknat yang telah menggaet hati suamiku) pakai ilmu orang pinter, " sambung Arin yang ternyata lebih gregetan tenimbang aku sendiri.Â