Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Perempuan yang Merasa Dirinya Terkutuk

1 Juni 2020   09:14 Diperbarui: 1 Juni 2020   09:37 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perempuan itu selalu merasa dirinya sebagai manusia yang dikutuk. Maka, ia selalu mengurai rambutnya yang panjangnya sudah melebihi tinggi badan dia sendiri. Sehingga ketika dia berjalan, rambutnya selalu menyapu jalanan. 

Ia tak pernah kawin. Karena perkawinan hanya menambah kutukan bagi dirinya. Bahkan mungkin kutukan yang selama ini dinikmati dirinya, harus dibagi kepada laki-laki yang disebut suami atau kepada bocah bocah yang menanggil dirinya sebagai ibu. Tak mau hal itu terjadi, maka ia tidak kawin. 

Bukan gak ada laki-laki yang menginginkan tubuh molek perempuan yang meresa dirinya terkutuk. Banyak. Tapi selalu dia tolak. Baik yang cukup dengan kode atau yang ditolak dengan makian. 

Dan akhirnya, ia tetap sendiri. Hingga kini. Ketika usianya sudah melewati angka delapan puluh. Delapan puluh. Tak ada di kampung itu, perempuan bisa berusia seawet perempuan yang merasa dirinya terkutuk. 

Hanya ada satu laki-laki yang bisa melebihi usia perempuan yang merasa dirinya terkutuk. Namanya Dullah. Lengkapnya, Abdullah. Sekaligus, hanya dia yang tahu segala rahasia hidup perempuan yang merasa dirinya terkutuk. 

"Dia itu perempuan baik. Ngajinya juga bagus. Keturunan dari tetua kampung ini, " cerita Kek Dullah suatu waktu. 

Memang, meski banyak anak anak kecil suka meledek perempuan yang merasa dirinya terkutuk, tidak dengan orang dewasa di kampungku. Hampir semua orang dewasa di kampung ku akan tetap menaruh hormat kepada perempuan tersebut. 

Secara bergantian, ibu ibu di kampung kami menyediakan makanan untuk perempuan yang sudah tak peduli akan bisa makan atau tidak makan itu. Setiap pagi, selalu ada perempuan di kampungku yang mengantarkan makanan ke rumahnya yang besar itu. 

Rumah perempuan yang merasa dirinya terkutuk memang besar. Lebih besar dari rumah umumnya. Rumah itu, kata orang tua, merupakan peninggalan kakek neneknya yang sudak kaya sejak jaman Belanda dulu. 

Makanan pemberian akan diletakkan di meja di teras depan rumah perempuan itu. Ditutupi dengan tudung saji yang entah siapa telah menaruhnya di situ. 

"Dia kemasukan inang kampung ini. Dia telah menjadi pemelihara kampung ini. Beban yang tidak ringan. Laki-laki saja belum tentu sanggup. Tapi, dia rela mengorbankan dirinya. "

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun