Dulu dia penguasa. Penguasa tiran tak ada bandingannya. Dan kami adalah budak budak peliharaan yang mesti tunduk tanpa daya.Â
Secara biologis, dia ayahku, ayahmu, ayah kita. Tapi, secara hakiki, dialah musuh paling aku benci sepanjang hidupku. Hingga titik darah penghabisan.Â
Kalau aku dan adik adiku berhasil menjadi orang, bukanlah karena seperti yang selalu diomongin dia sebagai buah kediktatoran nya selama berabad-abad rasanya.Â
"Dia sudah mau mati, " kata adikku ketiga.Â
Dia dulu memang paling sering dibantai oleh laki-laki penguasa tiran tersebut. Bahkan tangis ibu yang tak tega melihat Riyan dibantai ayahnya sendiri, tak mampu menghentikan gairahnya melayangkan gesper kulitnya.Â
"Dia kan tetap ayahmu? " kataku mencoba sedikit bijaksana hanya karena aku menjadi kakak tertua di antara mereka.Â
Laki-laki tua itu memang sekarang tinggal sendiri di istana besarnya. Â Hanya ditemani seorang perempuan tua sebagai pembersih rumah. Â Kami yang bergiliran membayar upahnya.Â
Tak ada yang mau tingfal bersamanya. Sudah pasti. Karena, walaupun sudah ompong dengan tenaga yang mungkin tinggal bisa membawa kerangka tubuhnya itu pun, dia masih merasa sebagai penguasa tanpa cela.Â
Dan lebaran ini. Tepatnya satu hari setelah lebaran, tersiar berita duka. Kematian laki-laki itu. Â
Dan tak ada satupun anaknya yang pulang. Dengan alasan ada larangan pulang mudik dari pemerintah, kami kompak hanya mengirimkan uang yang lumayan besar dan pasti berlebihan jika hanya untuk upacar penguburan belaka kepada salah seorang adik penguasa tirani yang tinggal di kota kecil tersebut.Â
Entah, rasa apa yang ada di hati kami. Antara kasihan karena laki-laki itu sudah tua dan buta, atau bahagia karena waktu telah mengalahkan keangkuhannya yang tiada tara.Â
Entah.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H