Dulu mereka memuja Jokowi, Â tentunya saat mereka masih di dalam. Â Kebijakan atasnya sangat presiden, terlalu bagus untuk sekadar diberikan catatan. Â Mereka pembela presiden terdepan.Â
Lalu mereka terkena penggantian sebelum lima tahun. Â Penggantian mereka tentu sudah berdasarkan penilaian. Â Bisa subjektif. Â Karena memang penilaian itu merupakan hakim prerogatif seorang presiden. Â Bahkan seorang wakil presiden tak perlu diajak bicara, tak ada pelanggaran hukum. Â Hanya saja kurang etis.Â
Tapi, kenapa kemudian orang orang pecatan ini, Â baik menteri atau cuma orang gak terlalu penting di sebuah kementrian, menjadi oposisi dan semua yang tadinya dibela menjadi berwarna hitam semua?Â
Itulah mentri politikus. Seandainya, mentri profesional, mungkin tak akan seperti itu. Â Apalagi menteri pecatan yang Beroposisi dan sedang mencari lowongan lain, misalnya menjadi seorang gubernur, ternyata gagal juga, Â maka suara nya terdengar makin memekak kan telinga.Â
Seolah tak ada etika dalam kehidupan dia. Â Dari memuji ke mencela itu kan berkebalikan nilai nilai nya. Â Masa, Â bisa menyatu dalam diri seseorang?Â
Tetapi, Â politik telah membuat mereka kehilangan nilai nilai luhur. Â Nafsunya terlalu besar untuk bisa diredam oleh nilai luhur.Â
Cukup rasional jika ada orang tua yang bersikeras melarang anak nya memasuki dunia politik. Â Dan menganggap dunia politik sebagai dunia kotor.Â
Pernah menghitung jumlah koruptor yang ditangkap KPK? Â Hampir semua nya politikus. Â Memang mereka rata rata busuk. Â Bisa menggadaikan nilai apa pun demi tujuan politisnya.Â
Sebetulnya, tak masalah seorang Menteri yang dipecat terus beroposisi. Â Tapi, Â jika dia masih mau menggenggam nurani. Â Hanya saja, coba lihat kritikan mereka. Â Lebih sering bodong. Â Tanpa argumen paling rendah sekali pun. Â Yang tergambar dari setiap kritiknya hanyalah sebuah kemarahan besar karena dipecat oleh Presiden.Â
Hanya bisa mengurut dada menyaksikan polah tanpa adanya tersebut.Â
Waduh.Â