Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Cukup Seorang Ahok, Bukan Memindahkan Ibu Kota

1 Mei 2019   17:09 Diperbarui: 1 Mei 2019   17:30 711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Orang paling gila di negeri ini,  ada di ibukota.  Orang paling membanggakan juga ada di ibukota.  Pokoknya,  di ibukota negara, biasanya terdapat segala yang paling.  Apalagi orang nomor satu di negeri itu, pasti adanya di ibukota

Mengelola ibukota dengan cara biasa saja, tak akan bisa.   Preman paling preman gak bisa dihadapi dengan cara biasa.   Mereka akan tertawa,  bahkan menghajar balik dengan lebih keras.   Preman paling preman harus dihadapi dengan cara luar biasa. 

Persolaan ibukota sudah pasti paling kompleks dibandingkan dengan kota mana pun.   Harus orang kuat yang bisa mengatasi kompleksitas persoalan di ibukota. 

Kita pernah punya Ali Sadikin.   Orang gila yang siap menghajar para preman nya preman yang biasa bermain lunak dan kasar di ibukota.   Tanpa Ali Sadikin, entah Jakarta masih seperti apa saat ini. 

Semua orang tahu kegilaan Ali Sadikin.   Dan semua orang tahu,  beliau lah yang pas sebagai model kepemimpinan Jakarta.   Jujur dan tegar.   Bagai karang yang siap menghadang setiap ombak yang terus menghajarnya gelombang demi gelombang. 

Gubernur sebelum dan sesudah Ali Sadikin hanyalah gubernur biasa.   Sehingga kurang greget untuk membawa Jakarta lebih baik.  Sehingga tak ada prestasi yang bisa dikenangnya. 

Bahkan kemudian orang Jakarta merasa persoalan Jakarta semakin rumit dan sulit dicari jalan urainya.   Setiap gubernur cuma bisa berdiri bersama persoalan yang ada. 

Lalu, Tiba-tiba muncul Ahok.   Ahok yang dianggap kafir hanya karena teguh memegang prinsip-prinsip kepemimpinan modern.   Ahok tak bisa ditembus oleh para petualang, bahkan dari partai pengusung nya.  Sehingga hampir semua petualang kehilangan mata pencaharian sampingan sehingga yang muncul keputus-asaan mereka.   Dan akhirnya, mereka berjamaah hendak menggusur gubernur yang tak mau dan tak memberi peluang korupsi di wilayahnya. 

Jakarta mendadak tertib.   Koruptor jengkel.   Para petualang anggaran mati kutu.   Dan mereka menyelinap hendak membalas dendam. 

Dan mereka bersembunyi di balik agama.   Tak ada cara lain untuk menghancurkan karang yang kokoh di samping Monas.   

Dan akhirnya,  Jakarta kembali menjadi ibukota penuh persoalan rumit tanpa alur urai.   Sehingga muncul kembali wacana pindah ibukota.   Benarkah pindah ibukota sebagai jalan urai persoalan ibukota? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun