Tak ada perempuan yang bisa mengutuk, kecuali perempuan itu sudah tak bisa menahan lukanya.
Dan kamu masih ingat kata kata temanmu itu, tapi kau abaikan.
Lalu kau dikutuknya.
Kau tak percaya. Â Kau tertawa meledek terhadap kata kata dia. Â Perempuan yang telah kau bikin luka.
Sekarang kau baru merasa kalau kutukan itu ada. Â Kutukan itu melekat pada hidupmu. Â Jiwamu terkurung. Â Jiwamu terpasung.
Kamu terlalu jumawa. Â Kau kejar apa yang kau inginkan. Â Kau campakkan apa yang kau merasa bosan.
Bahkan pada perempuan setia padamu. Â Yang telah mengorbankan segalanya demi kamu. Kamu memang layak mendapat kutukan itu. Â Sangat kayak.
Dan sekarang kau baru merasakan, bagaimana sakitnya dicampakkan. Â Dihinakan. Â Sakitnya lebih parah daripada kau gorok lehermu sendiri pelan pelan.
Laki laki itu terus tertawa. Â Tertawa. Dan tertawa. Â Dia sedang menertawakan dirinya sendiri. Â Kebodohan dirinya. Â Kesombongan dirinya.
Dan dari jauh, perempuan yang terluka masih tetap meneteskan air mata. Â Masih ada pertarungan sengit antara cinta dan luka. Â Pertarungan yang entah sampai kapan akan mencapai ujungnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H