Laki laki tua itu mengaku bernama Abu. Aku panggil Kakek Abu.
Dia tinggal di mushola dekat kantorku. Kantorku sendiri tak punya mushola, apalagi masjid. Â Sehingga pegawai yang memang hanya hitungan hari itu kalau solat menumpang di mushola kampung yang ditunggui Kakek Abu.
Tak ada yang tahu asal usul Kakek Abu. Waktu ditanya langsung pun, Kakek Abu hanya menjawab dengan senyuman khasnya. Â Senyuman yang kata temanku, senyum seseorang yang sudah siap bertemu Izrail.
"Mau tahu banget, apa mau tahu aja," ledek Kakek Abu waktu aku agak memaksanya.
Jadinya, aku pun tak meneruskan. Â Hanya menyimpan rapi pertanyaan itu di hati paling dasar.
Dan pada suatu pagi, ada berita kalau Kakek Abu dirawat di rumah sakit.
"Bagaimana biayanya?"tanya temanku.
Kami hanya tertunduk. Tak tahu jalan yang mesti ditempuh. Kalau hitungannya ratusan ribu masih mending.
"Sepuluh juta," kata temanku.
Akhirnya, kami tak berani menjenguknya. Malu, tak bisa membantu orang baik. Beberapa  Kali aku dibantu Kakek Abu. Waktu istriku melahirkan anak ketiga, karena tak dapat tanggungan dari kantor, aku sempat kelabakan.  Untung ada Kakek Abu yang membantu nya.
Pagi ini bendera kuning terpampang di sebelah kantor.