Ibu masih terus bercerita masa lalunya. Â Diah tak menyangka. Â Begitu menderitanya ibu. Â Begitu remuknya hati ibu. Â Saat kami, anak-anak yang sembilan bulan dikandungnya tak mendapat kasih sayang dari laki-laki yang telah berkorban untuk dirinya. Â Legimin hanya menginginkan tubuhnya. Â Legimin tak peduli pada nafas-nafas baru yang hadir di hadapannya.
"Ibu juga yang salah," ibu terus-menerus mengucap kata-kata itu, walau kami sudah mencoba membesarkan hatinya. Â Sejahat-jahat seorang ibu, hatinya pasti masih terus untuk anak-anaknya.
Kami bertiga tak mungkin menghentikan air mata. Â Air mata penyesalan ibu. Â Air mata penyesalan Diah. Â Dan entah air mata apa yang juga mengalir dari pelupuk Mas Juli.
Diah merasa tak adil selama ini. Â Diah sudah menghukum ibu dengan ketakpulangannya yang begitu panjang. Â Afra pernah memberitahu kalau ibu sangat merindukan kepulangan Diah. Â Namun Diah tak mau pulang. Â Ada kebencian yang terselip di hati Diah setelah mendengar apa yang dikatakan Yu Karti tempo dulu. Â Ya, tentang ibu. Â Dan tentang dirinya yang ..... Ah! Â Sekaranglah saat untuk mengakhiri semuanya. Â Sekaranglah saat kembali hidup dalam dunia baru. Â Bukan untuk melupakan, tapi untuk memaafkan.
"Maafkan ibu ya?"
Kami berdua hanya bisa mengangguk. Â Sudah taka ada lagi kata-kata. Â Kata-kata sudah kehilangan makna. Â Kata-kata sudah tak bisa mewakili secuil pun perasaan kami saat ini.
Ibu terkulai.
Badan ibu lemah. Â Ibu dibaringkan kembali. Â Nafas ibu semakin memberat. Â Walau senyum itu masih tertinggal seakan tak mau pergi dari bibir ibu. Â Mungkin sudah merasa lega. Â Mungkin sudah merasa tugas beratnya sudah terselesaikan juga.
Mbak Dini masuk. Â Bersama Rara. Â Dengan langkah yang tergopoh. Â Dengan muka yang penuh tanda tanya. Â Tapi Mbak Dini juga sudah paham. Â Dia sudah mampu menangkap apa yang tersirat. Â Mbak ini ikut mendekap kaki ibu.
Pelan-pelan, kami membimbingnya membaca lafaz "Allah". Â Ibu mengikuti dengan desis yang nyaris tak terdengar. Â Begitu lirih. Â begitu pedih.
Diah terus mencoba. Â Tapi, ternyata Tuhan sudah mencatat segalanya. Â Ibu pun menghadap-Nya. Â Diah terpaku. Â Mbak Dini terpaku. Â Mas Juli terus mengucap doa.