3 Hati dalam Gelas (25)

Tapi, sepertinya ibu ingin membuka lembaran-lembaran sejarah di hadapan Diah.  Sejarah antara ibu, Diah, dan laki-laki yang sering dipanggil bapak.  Mungkin ada lagi.  Seorang laki-laki yang entah siapa.

"Kamu pasti sudah tahu dari Karti.  Aku sudah mengamanatkan padanya untuk menceritakan sebagian.  Biar ibu yang menyelesaikan bagian lainnya," suara ibu semakin bergetar.

Diah masih bersimpuh di bawah tempat tidur ibu.  Tangannya memijit-mijit kaki ibu.  Diah sering merasa lebih tenang saat kaki dipijat, semoga ibu juga merasakan ketenangan itu.

"Diah siap mendengar apa pun yang akan ibu katakan, Bu."

Masa lalu, harusnya tetap menjadi masa lalu.  Tak boleh masa lalu mengganggu masa kini, apalagi menghadang masa depan.  Akan tetapi, masa lalu akan terus menguntit kemana kita pergi.  Masa lalu tak bisa kita buang begitu saja.

Diah tak ingin terbebani masa lalu.  Diah ingin berdamai dengan masa lalu.  Apa pun warna masa lalunya.  Kepasrahan adalah pertahan yang paling kuat bagi siapa pun.  Orang-orang yang pasrah menerima, atau kata eyang, nerimo ing pandum, akan selalu menjadi manusia paling kuat menghadapi cobaan seberat apa pun.  Diah menyadari betul itu.

Harapan selalu akan hadirnya segala kebaikan.  Kesiapan selalu dibutuhkan untuk segala ketidaksesuaian harapan.  Berharap sesuatu yang baik harus selalu menghuni hati.  Hanya saja, hati juga harus selalu disiapkan untuk menerima segala hal, termasuk yang paling jelek sekali pun.  Dan hanya dengan kepasrahan yang total hal seperti ini bisa terjadi.

(Bersambung)