Malam mulai larut. Â Mereka bertiga masih ngobrol. Â Tak ada rasa ngantuk. Â Tak ada rasa lelah. Â Yang ada dan penuh di dada mereka adalah rasa rindu. Rindu yang menggebu.
"Mbak Diah masih ingat Dodo?" tanya Afra.
Diah pura-pura mikir. Â Jidatnya dikerutkan.
"Dodo yang mana y, Fra?"
"Anaknya haji Misbah. Â Perasaan dulu sekolahnya bareng mbak deh."
"Oh dia. Â Iya. Â Kenapa?" Diah penasaran.
"Haji Msibahnya kan sudah meninggal."
"Inna Lillahi. Â Kapan?"
"Udah lama, Mbak. Â Gara-garanya juga si Dodo juga. Â Dia kan anak satu-satunya. Â Haji Misbah pengin anaknya bisa menggantikannya menjadi mubaligh. Â Tapi Dodo nggak mau."
Diah tahu. Â Dodo memang tak mau jadi mubaligh. Â Kata Dodo, menjadi mubaligh kayak bapaknya itu banyak bohong. Â Dodo sering bilang kalau ayahnya paling pelit di dunia. Â Jangankan untuk bersodaqoh atau berinfaq, untuk ngasih uang jajan anaknya saja pelit banget. Â Padahal, sambung Dodo waktu itu, ayahnya paling fasih bicara tentang sodaqoh dan keistimewaan infaq.
Dodo pengin jadi saudagar. Â Seperti Usman bin Affan. Â Atau Abdurahman bin Auf. Â Dua sahabat nabi yang terkenal sebagai saudagar dan sekaligus sahabat yang paling banyak menyumbang harta untuk perjuangan nabi. Â Tak mau Dodo menjadi pembohong seperti ayahnya. Â Jadi, sangat mungkin Dodo menolak kemauan ayahnya.