Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[HUT RTC] Puisi untuk Vianda

2 Maret 2016   17:21 Diperbarui: 2 Maret 2016   17:33 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Terpaksa banget.  Sambil menenteng anak kecil yang masih betah banget dengan ingusnya itu, Bu Udin masuk ke sekolah Udin.  Pas nyampe di pos satpam sekolah, pak satpam langsung menyetopnya.  Mungkin dikira ada peminta-minta yang hendak masuk ke wilayah kekuasaannya.

"Dilarang minta-minta di sekolah!" bentak pak satpam yang dari dulunya pengin jadi pulisi tapi tak lulus-lulus karena uang sogokan kalah gede sama yang laen.

"Saya gak mau minta-minta, Oom Satpam!" bentak Bu Udin yang merasa harga dirinya diinjak satpam.  Bu Udin merasa kalau dirinya harusnya disapa dengan senyum ramah karena dulu Bu Udin udah pernah ikut kontes ratu kecantikan di ertenya dan menang jadi juara harapan 3 nyampe lima kali karena pesertanya cuma enam itu.  Bu Udin tak mau kalau diremehkan satpam yang giginya suka mau balapan itu dan sok kuasa pula.

"Terus ibu mau apa?" tanya pak satpam sedikit menurunkan intonasinya.  Satpam tahu kalau orang begini tak mungkin dikerasin.  Modal orang miskin begini memang berani nekad.  Kalau dikerasin nanti malah tambah ribut di wilayahnya.  Menurut teori pengamanan yang pernah dibaca satpam waktu masih pelatihan, kalau orang dikerasin tambah keras, maka harus dilembutin biar gampang digaprat. 

"Mau ketemu kepala sekolah.  Ada, gak?"

Pak satpam melongo.  Diinget-inget, kayaknya ada manusia yang model begini juga.  Oh, iya, pasti si Udin.  Sepertinya ibu di depannya ini masih maminya di Udin.  Sudah empat hari tidak nongol nukanya tuh anak.

"Ibu, enyaknya di Udin?" tanya satpam agak mundur dikit.

"Maminye!"

"Ada. Masuk aja.  Entar ada tulisan ruang kepala sekolah.  Ntu dia ruangannya," jelas satpam.

"Gue kagak bisa baca.  Anterin aja, Pam!" kata ibunya Udin sambil langsung menarik tangan satpam.  Satpam yang biasanya galak, mati kutu juga ketika tangan langsung digaet mantan ratu kecantikan erte tujuh kelurahan Pondok Bambu itu.

"Iya.  Tapi, lepasin tangan gue ah, malu!"

Bu Udin pun sambil nyengir melepas genggamannya.  Udah lama.  Lama banget, sejak bapaknya si Udin nyungsep ke akhirat, Bu Udin tak pernah pegang tangan laki-laki.  Dan enak juga rasanya nyengkerem tangan pak satpam.  Kayak dulu waktu nyengkerem tangan bapaknya udin di Monas.

Singkat cerita.  Kepala sekolah menerima ibunya Udin dengan baik.  Lalu, setelah basa basi dikit, kepala sekolah baru nanya maksud kedatangan ibunya Udin ke sekolah.

"Saya lagi sedih Pak Kep,"  kata ibunya Udin memulai ceritanya.  Sebagai bumbu rasa sedihnya, ibunya Udin melapaskan kepergian air matanya di depan kepala sekolah.  Sehingga kepala sekolah semakin terharu walau ibunya Udin baru mulai ceritanya.

"Udin, Pak Kep.  Sudah tiga hari tiga malam tak mau keluar dari kamarnya.  Tak mau makan.  Tak mau minum.  Saya jadi gembira.  Soalnya dia kalau makan terlalu banyak.  Kalau minum juga sukanya yang manis-manis sehingga gula di rumah cepat abis," lanjut ibunya Udin yang semakin bikin haru Pak Kepala sekolah karena baru kali ini ada seorang ibu yang bahagia anaknya tak mau makan dan tak mau minum.

"Tapi ... kalau ibu bahagia Udin tak makan dan tak minum, kenapa ibu ke sini?" tanya Bapak Kepala Sekolah yang rambutnya agak botak karena sering terlalu berempati pada orangtua-orangtua yang datang dengan segudang permasalahan anak-anaknya.

"Saya takut dia mati."

"Ibu sudah gedor pintunya?" tanya kepala sekolah.

"Belum. Mau saya gedor tapi takut pintunya runtuh."

"Emang masalahnya apa?" tanya kepala sekolah sambil mengelap keringat tepat di tengah kepala botaknya.

"Katanya, Udin pengin mengungkapkan perasaannya kepada gadis pujaannya.  Saya ke sini pengin minta kepala sekolah mengirim bala bantuan berupa gadis pujaan Udin sebentar saja.  Setelah itu, biarlah Udin memutuskan apa, kalau dia mau mati juga tak apa-apa, yang penting cita-citanya sudah tercapai.  Saya, sebagai ibunya yang baik hati, takut kalau dia bunuh diri karena cita-citanya tak tercapai, karena dia bisa jadi hantu gentayangan nantinya, Pak Kep."

"Oke.  Demi ibu, saya akan usahakan.  Siapa nama gadis pujaan Udin?" tanya Pak Kepala Sekolah yang terkadang lebai ingin dianggap sebagai kepala sekolah yang baik hati.

"Namanya Vian ... Vian .... Vianda."

Gubrak.  Kepala sekolah nyaris tersungkur mendengar nama yang disebut ibunya si Udin.  Kamu mungkin belum tahu siapa Vianda.  Aku yang nulis cerita ini jelas udah pasti tahu.  Karena aku kan yang ngerancang cerita ini.  Vianda itu dalam cerita ini dijadikan anak kepala sekolah satu-satunya dari istri satu-satunya yang mau dikawinin dia.  Siapa yang gak jantungan, anak semata wayangnya diidolain sama si Udin, siswanya yang paling susah mendapat harapan masa depan.  Kepala sekolah sudah pasti tahu jika nilai si Udin memang enggan melewati angka 6.  Angka 6 selalu diperoleh Udin jika sudah melewati 3 kali remedial.  Karena remedial ke-4 tak mungkin dilakukan lagi oleh guru jika pesertanya tinggal Udin selalu.

Dan hari ini ... apakah kepala sekolah harus merelakan anaknya menyembuhkan luka dalam yang dialami Udin?  Oh, Tuuuuuuuuuuuuuhhhhhan, kenapa Engklau memberi cobaan yang begini berat?  Jerit kepala sekolah dalam hati.

"Tolong, Pak.  Setelah itu, biarlah dia mati juga tak apa-apa.  Sebagai ibunya, saya sudah merelakannya," pinta ibunya sambil gemetar takut permintaannya ditolak kepala sekolah.

"Baiklah!" jawab kepala sekolah yang langsung membuat ibunya Udin tersungkur nyaris pingsan.  Ternyata masih ada orang baik di dunia ini. 

Singkat cerita.  Vianda pun datang ke rumah Udin.  Misinya hanya satu, menyelamatkan Udin agar jika dia mau bunuh diri, Udin tak bakalan jadi hantu.

"Assalamualaikum ..."

Gubrak.  Mendengar suara halus pengucap salam, Udin langsung keluar kamar.  Dia membawa secarik kertas.  Lalu, dia bersiap-siap membacanya. 

"Vianda ... tolong dengarkan puisiku.  Puisi yang sudah tiga hari tiga malam aku siapkan untukmu.  Setiap kata-kata dalam puisi ini sangat mewakili perasaanku padamu.  Tolong ... tolong dengarkan dengan seksama dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.  Peliiiiizzzzzzzzzzzzzzzz!" kata Udin dalam kata sambutannya.

Tak ada hal lain kecuali Viona mengangguk.

Dan Udin mulai membaca ...

 

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Saat Udin selesai membaca puisi itu, air mata Vianda mengalir deras seperti Ciliwung saat di Bogor hujan deras.  Vianda yang terlahir dari seorang bapak yang suka berempati, ternyata hatinya terlalu lembut untuk disentuh puisi Udin yang sangat sahdu dan penuh dengan ketulusan itu.

"Aku tak menyangka kau bisa menulis puisi sebagus itu, Din.  Aku suka banget ..." kata Vianda yang hampir lupa hendak memeluk Udin tapi segera diurungkan karena hidungnya langsung tersambar bau badan Udin yang sudah tiga hari tak tersentuh sabun mandi.

"Jadi kau juga mencintaiku?" tanya Udin gugup.

"Aku suka puisimu.  Bikinin lagi buat aku puisi yang spesial ya?"  kata Vianda.

Gubrak.  Udin masuk kamar.  Pintunya dikunci dalam-dalam.  Tak ingin ada orang yang mengganggunya.  Udin ingin bikin puisi paling spesial buat Vianda.

Satu minggu.  Dua minggu.  Tiga minggu.  Dan Udin tak juga keluar-keluar kamar.  Ibunya Udin tak peduli lagi.  Karena merasa segala permintaan Udin sudah dipenuhinya.  Dan Udin sendiri belum juga kelar-kelar bikin satu kata untuk puisi spesialnya.  Puisi yang dulu dibaca di depan Vianda hanyalah puisi yang dipungut Udin di perpustakaan sekolah.  Kalau bikin sendiri, mana bisa dia .........

Sekian.............................!

Karya ini diikutsertakan dalam rangka memeriahkan ulang tahun perdana Rumpies The Club.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

(Sapardi djoko damono: Hujan bulan juni, 1994)

 https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/02/29/logo-rtc-56d4311bf47e612b1c3cdf1d.jpg?v=600&t=o

 https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/02/29/logo-rtc-56d4311bf47e612b1c3cdf1d.jpg?v=600&t=o

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun