Senja tiba. Aku sudah menunggunya. Di kafe itu. Di meja paling jauh. Agar akau bisa menikmati kegalauanmu. Kegundahanmu. Dan ini senja ketiga aku menantimu.
Kau hadir seperti biasa. Dengan baju yang trendy. Aku menikmati semua itu. Hingga kau meletakkan payung itu di luar. Kemudian masuk. Dan duduk di bangku dekat jendela. Kau memang tampak beda saat menikmati senja yang hujan. Seperti senja kali ini.
Tak ada kata apa pun yang keluar dari mulut mungilmu. Matamu juga tampak seperti biasa. Bukan tanpa semangat. Ada semangat di matamu. Tapi semangat itu seperti sedang tertahan.
Aku ingin menyakan sesuatu kepadamu.
"Kamu ...?"
Pertanyaan itu belum selesai saat kalau langsung memotong.
"Dari kuburan." tanpa ekspresi.
"Untuk...?"
"Bicara dengan mantan pacarku. Dia dulu pacarku dan sekarang juga masih pacarku. Â Kami saling setia. Tapi peristiwa itu telah merenggutnya. Kau pernah dengar bom Sarinah? Dia terkena bom itu. Padahal kami tinggal menghitung hari ke jenjang pernikahan. Aku tak mau mengkhianatinya. Aku ingin menyetiainya."
Lalu kami saling diam.
"Aku sengaja memakai payung pink. Itu juga mungkin akan kau tanyakan juga. Karena dia suka payung warna itu. Aku datang ingin membahagiakannya. Â Maka aku sellau pakai payung kesukaannya itu. Kamu tahu? Kami juga beda agama. Dan kami memang selalu gagal menentukan tanggal pernikahan dengannya karena beda agama ini."