Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rahasia Hati

8 Juli 2015   13:33 Diperbarui: 8 Juli 2015   13:33 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Weni. Lengkapnya Weni Gadis Reinata. Banyak yang memanggil Weni. Ada yang memanggil Gadis. Dan ada juga yang memanggil Rei.
Siapa yang tak kenal Weni?
Satu sekolah pasti kenal semua. Dari kelas tujuh sampai kelas sembilan. Dari kepala sekolah sampai pesuruh sekolah. Kalau ditanya Weni pasti akan bertanya balik.
“Weni gendut?”
Mungkin di sekolah banyak nama Weni. Tapi memang hanya ada satu Weni yang gendut. Yaitu Weni Gadis Reinata.
Weni memang lain? Iya. Sangat beda. Kenapa?
Banyak orang, juga teman-teman Weni yang ketakutan kalau badannya sudah terlihat mulai bertambah timbangannya. Rasti malah sampai sakit-sakit segala karena diet hanya demi berat badannya. Sehingga ibu Rasti sampai mengancam tak akan makan juga kalau Rasti tak mau makan. Ya, Rasti baru mau makan saat ibu Rasti mengancamnya.
Gendut?
Ih, tidak lah!
Itulah jawaban semua anak gadis sebesar Weni. Kecuali Weni yang sudah tak peduli dengan badannya yang tak pernah mau berhenti bertambah. Sehingga Weni pun malas kalau disuruh mamanya untuk menimbang. Pasti akan tambah terus timbangannya.
“Coba Wen,” bujuk mamanya hampir setiap minggu dengan kekhawatiran yang terus tumbuh di hatinya.
“Malas, ah!” bantah Weni.
“Ayolah, Wen. Nanti uang sakunya ditambah,” rayu Mamanya yang memang dalam hatinya tak menginginkan anaknya terus bertambah subur. Mama Weni justru yang badannya ramping karena selalu rajin ikut senam. Sementara anak gadisnya justru lebih senang ngemil dan tidak peduli dengan berat badan.
Kalau sudah mendengar akan dapat tambahan uang saku, barulah Weni pelan-pelan bangkit dari kursi kesayangannya. Menuju timbangan. Andai timbangan itu bisa bergerak, timbangan itu pasti akan terbirit-birit karena tertimba badan yang begitu berat. Andai timbangan itu bisa berteriak, pasti timbangan akan berteriak menyerah pasrah.
“Benar kan, Wen?!” rasa khawatir itu selalu pecah di samping timbangan.
“Emang kenapa, Ma?” Weni justru seperti tak peduli.
“Tambah setengah kilo lagi,” Bundanya bingung sendiri. Mesti bagaimana lagi? Apa lagi yang harus dilakukannya?
“Makanya, Mama jangan menyuruh Weni nimbang badan melulu. Mama sendiri kan yang sedih setiap kali lihat hasil timbangan Weni?” kata Weni.
“Jangan nambah lagi ya sayang,” bujuk Mama Weni yang sudah kedua puluh ribu tiga ratus lima puluh satu kalinya. Atau sebanyak itu kurang lebihnya.
“Kenapa?”
“Karena kalau gendut pasti akan dijauhi cowok. Pasti akan jomblo seumur hidupmu.”
“Jangan lebay, Ma,” Weni masih tak terganggu. Masih tenang-tenang saja.
“Lihat badan Mama, dong Wen!” sambil berputar-putar seperti balerina kampung.
“Ah, semua orang punya jodohnya sendiri-sendiri, Ma Tak usah seperti itu.”
Weni memang beda. Banyak teman-teman Weni yang berusaha mati-matian agar badannya tak gendut. Makan tak pernah banyak dan tak suka ngemil. Sementara Weni? Weni tak peduli.
Putri, teman sekelas Weni yang juga teman satu bangku Weni, pernah mencoba ingin tahu isi hati Weni. Putri memang heran dengan Weni. “Wen, kamu memang gak takut?”
“Ehmmmmmm,” agak tak acuh.
“Hei, diajak ngomong, kok?!” bentak Putri.
“Apa?” Weni balik tanya.
“Kamu gak takut?” tanya Putri.
“Apa?” Weni masih enggan.
“Diajak bicara kok apa-apa melulu?”
“Maksudku kamu itu ngomong apa? Kamu dari tadi bicaranya tidak jelas, sih.”
“Weni, temanku yang paling cantik. Kamu pernah gak merasa takut, Weeeeeeen?”
“Ih, kalau itu saya sudah tahuuuuuuu. Maksudku takut apa?”
“Takut gendut?”
“Hah? Takut gendut? Kenapa mesti takut, temanku yang cantik sekali?. Emang orang gendut itu jelek? “ Weni balik bertanya.
“Tidak sih? Tapi kan cowok gak ada yang suka cewek gendut kan?”
“Biarin!”
Itulah kata pamungkas Weni. Setiap kali mentok diungklit-ungkit masalah badannya yang gendut, maka kata akhirnya selalau: Biarin! Dan temannya pun akan selalu keok dengan kata ajaib itu.
Syahdan, maka sampai sekarang badan Weni tak pernah satu ons pun turun. Malah selalu nambah. Sampai-sampai Weni malas kalau disuruh menimbang badan oleh Mama. Ya, ini juga. Mama. Manusia paling khawatir dengan putri semata wayangnya. Mama Weni selalu khawatir pada badan Weni yang terus mekar. Hingga Mama pun rela membelikan timbangan, biar putrinya tahu berapa tambahan dagingnya bulan ini.
Tapi dasar Weni. Setiap kali menimbang. Setiap kali bertambah timbangannya. Tak pernah Weni sedih atas malapetaka ini. Weni malah tertawa. Tak ada beban apa-apa di hatinya.
Weni. Weni memang selalu berpikir. Dari sekian milyar cowok, tak mungkin semuanya berpendapat cewek gemuk itu jelek. Pasti ada cowok yang menyukai cewek gemuk. Pasti. Dan pendapat ini disimpan rapi di dalam hati. Makanya Weni tak kuatir pada tubuhnya yang teruh menggelembung itu.
“Weni, kurangi makannnya,” kata Mamanya.
“Kenapa, Ma?”
“Nanti meledak.”
“Yaaaaaah, Mama.”
“Paling tidak, jangan nambah lagi beratnya, Wen,” ada begitu besar kekhawatiran di hati Mama.
“Mama tak usah khawatir. Weni pasti sehat selalu,” jawab Weni dengan tenangnya. Seakan dunia tak akan kiamat selama-lamanya. Seakan segala makanan memang dicipta untuk dinikmati. Sebelum datang kematian.
“Gimana sehat. Kapan olahraganya?” tambah Mama Weni.
“Sehat itu bukan hanya karena olahraga, Ma. Sehat juga dikarenakan berpikir positif. Kalau kita selalu berpikir positif, kita juga akan sehat,” Weni tak mau kalah.
Mama Weni tersenyum. Agak heran juga. Anak semata wayangnya selalu bisa membantah apa yang dikatakannya. Selalau berusaha mendepak kekhawatiran hatinya.
Dan memang benar apa yang dikatakan Weni. Berpikir positif. Berpikir positif. Tak ada yang lebih baik dari berpikir positif. Mama jadi teringat temannya yang baru kemarin meninggal dunia. Dia cantik. Rajin olahraga. Tapi pikirannya yang selalu negatif. Semua orang dicurigai. Semua orang dibenci. Hingga olahraganya tak bermanfaat karena sikap negatifnya itu.
***
Malam minggu. Seperti malam-malam Minggu yang lalu. Sama persis. Tak ada beda. Seakan malam Minggu memang hanya satu jenis. Dan malam Minggu bagi Weni adalah malam-malam bergumul dengan acara televisi. Dan tentunya, camilan yang tak mungkin hilang dari samping tempat duduk Weni.
“Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiing!” terdengar dering telepon.
Dari Rista. Hanya iseng seperyinya. Rista memang paling suka iseng dengan Weni. Atau paling-paling hanya untuk meledek Weni. Tapi Weni tak ingin membenci Rista. Tak ingin dibebani hati yang hendak meledak karena beban kebencian. Pada siapa pun. Termasuk pada Rista yang selalu iseng kepada diri Weni.
“Halo,” suara dari seberang.
“Pasti Rista. Apa kabar, Ris?” sapa Weni dengan sopan.
“Wen, jangan bilang-bilang yang di sebelah kamu ya?” ledek Rista. Karena Rista tahu betul, Weni tak punya pacar. Jadi tak mungkin kalau malam Minggu ada yang berkunjung ke rumah Weni.
Kalau pun ada yang datang di malam Minggu, paling-paling tukang somay. Orang yang paling bahagia kalau lewat depan rumah Weni. Sebab, Weni selalu beli tiga porsi, jadi tak usah capai keliling-keliling.
“Ada apa, Ris?” tanya Weni dengan sabarnya. Weni juga sudah tahu kok, kalau Rista hanya ingin meledek.
Weni tahu kalau Rista saat ini sedang jatuh hati dengan Rangga. Rangga yang menjadi ketua kelas di kelas sembilan tiga. Rangga yang gantengnya seperti Dude Herlino. Sehingga tak ada satu pun siswi yang tak ingin menjadi pacar Rangga. Semua siswi di kelas sembilan tiga selalu bersaing mendapatkan perhatian Rangga.
Kecuali Weni. Ya, kecuali Weni. Bukan karena Weni terlalu cantik untuk menjadi pacar orang seganteng Rangga. Tapi Weni memang tahu diri. Rangga pasti seperti laki-laki lainnya, tak mungkin menyukai cewek gendut seperti Weni ini. Karena sudah yakin Rangga tak bakal menyukai Weni inilah maka Weni tak mungkin mengejar-ngejar Rangga. Percuma saja.
Lain dengan Rista yang memang cantik. Sekretaris kelas. Anak orang kaya pula. Pasti Rista lebih cocok kalau menjadi pacar Rangga. Dan wajar juga kalau Rista sekarang meledeknya. Tapi ya seperti biasa. Weni tak pernah marah pada Rista. Atau pada teman lain yang suka meledek badan gendutnya. Biarlah. Toh, suatu saat capai juga mereka meledek.
“Wen, kamu ditanyain Ratno,” kata Rista.
Mau tahu siapa Ratno? Ratno itu pedagang kentang goreng di kantin sekolah. Ratno juga sebesar weni ukuran badannya. Sama-sama jumbo. Karena sama-sama jumbo inilah, teman-teman Weni sering menjodohkan Ratno dengan Weni.
Ini pun tak membuat Weni marah. Memang kata orang, urat marah Weni sudah putus. Hari-hari Weni selalu diisi dengan tawa dan bahagia. Weni memang berpendapat, kalau kebahagiaan itu bukan karena orang lain. Kebahagiaan seseorang itu ada dalam diri masing-masing. Setiap kali orang memutuskan untuk bahagia, maka ia akan mendapatkan kebahagiaannya. Seperti Weni ini, Weni selalu bahagia dengan badan jumbonya, maka Weni pun bahagia. Weni tak ingin badannya membuat dirinya sedih. Tak ingin.
“Assalamualaikum,” terdengar salam dan ketukan pintu.
Weni mendengar ketukan dan salam itu, tapi karena Weni sedang menerima telepon dari Rista, maka Weni mendiamkan saja ketukan itu. Ketukan itu berulang. Hingga yang ketiga. Maka Weni pun menutup telepon dari Rista. Karena Weni khawatir pintu rumahnya bisa jebol kalau tamu marah tak dibukakan pintu.
“Waalaikum salam. Sebentar,” jawab Weni yang memang sedang sendiri. Mama dan Papa Weni sedang pergi kondangan. Weni diajak juga tapi kan tidak mungkin Weni mau kalau diajak ke tempat kondangan. Walaupun makanan di tempat kondangan membuat air liur membuncah ke mana-mana, tapi sekarang Weni sudah kebesaran untuk ikut dalam kondangan mamanya.
“Gubrak!”
Itulah bunyi jantung Weni. Weni yang memang kaget setengah hidup saat melihat orang yang ada di depan pintu rumahnya. Tak disangka-sangka. Tak diduga-duga. Ada pria ganteng di hadapannya. Untung saja Weni tak pingsan.
“Ranggaaaa!”
Hanya kata itu yang mampu keluar dari mulut Weni. Sebelum akhirnya tertutup, terkatup, terkunci. Agak melongo sedikit. Ya, Weni benar-benar tak menyangka, manusia terganteng se-Indonesia ini datang ke rumahnya.
“Hup! cukup sekian. Jangan melongo begitu, Wen. Aku Rangga. Betul-betul Rangga. Bukan hantu Trowongan Cililitan. Jadi jangan seperti melihat hantu gitu,” kata Rangga.
“Oh, iya. Silakan duduk. Oh, silakan masuk. Sendiri, Rang?” Weni agak gugup juga.
“He-eh.”
“Ada apa?” tanya Weni.
“Ada Weni,” si ganteng bercanda.
“Maksud Weni ada perlu apa?”
“Emang aku tidak boleh main nih? Kalau memang tidak boleh, aku pulang saja,” ledek Rangga.
“Bukan. Bukan begitu, kok maksudku,” Weni salah tingkah. “Mau minum apa?”
“Yang ada aja, Wen?”
“Adanya air putih.”
“Air putih juga menyehatkan.”
Weni masuk ke dapur Ingin mengambil air minum. Biasanya ada di kulkas. Tapi air dinginnya tidak ada. Biasanya mama Weni yang rajin menaruh air putih ke kulkas. Mama Weni mungkin lupa, sehingga sekarang tak ada air apa pun di kulkas.
Weni bingung. Mau bawa air apa ya? Ah, air dari dispenser saja. Yaaaah, lagi-lagi Weni baru sadar kalau dispenser pun airnya habis. Weni tak bisa mengganti galon dispenser. Kebingunagan Weni pun bertambah-tambah.
Air kolam? Ah, masa sih? Tapi tak ada air putih. Weni menyesali diri sendiri. Kenapa selama ini selalu mengandalkan orang. Coba kalau Weni rajin sedikit saja. Paling tidak, mau membantu mamanya menyimpan air putih dalam kulkas. Kan tidak begini jadinya. Sayang, penyesalan tak ada gunanya.
“Tidak pakai lama, Wen,” teriak Rangga dari teras.
Mendengar itu, otak Weni malah berhenti bekerja. Tak tahu apa yang harus dilakukan. Jalan kiri kanan. Weni belum pernah sih didatangi cowok ke rumahnya. Jadi salting deh.
“Iya, Ngga.,” kata Weni yang masih berdiri terpaku di depan kulkas sambil membawa sebuah gelas kosong.
Hap!
Untung mata Weni sigap. Pandangan mata Weni terbentur pada sebotol aqua. Wah, lumayan juga. Langsung dituangnya.
“Ada apa, Ngga?” tanya Weni yang tak ingin GR.
“Main saja, Wen.”
“Oooohh.”
“Wen, sudah lama aku memperhatikanmu, lho. Kamu ini bisa jujur. Misalnya, ya kalau ulangan. Padahal Rista selalu mencontek hanya karena ingin menjadi juara kelas. Aku yakin, seyakin-yakinnya, kalau Rista jujur seperti kamu, kamulah yang akan jadi peringkat satu di kelas sembilan tiga,” kata Rangga yang langsung membuat hati Weni melambung ke angkasa.
“Rista memang pandai,” kata Weni.
“Aku juga bangga punya teman kamu, Wen. Kamu tak pernah marah. Juga selalu menolong teman. Kemarin, kamu kan yang menolong Sania?” lagi-lagi Rangga memuji Weni.
“Hanya kebetulan,” Weni mencoba sadar diri.
“Ah, tidak mungkin. Pasti pertolonganmu itu datang dari hatimu yang baik. Kalau hanya kebetulan, tak mungkin kamu mau sampai terpeleset dan luka segala, Wen.”
“Kamu emangnya gak ke rumah Rista?” Weni mengalihkan pembicaraan.
“Rista kan sudah punya pacar?”
“Masa?” tanya Weni. Setahu Weni, Rista tergila-gila sama Rangga.
“Pacar Rista itu Ratno,” kata Rangga sambil tertawa. Rangga tahu. Weni juga tahu. Rista itu paling benci Ratno.
“Ih, Rangga.”
Mereka berdua tertawa. Begitu renyah. Begitu indah. Semerkah hati Weni.
“Kriiiiiiiiiiiiing!”
Telepon rumah Weni berbunyi.
“Siapa yang menelepon?” Rangga ingin tahu. Pasti Rangga takut kalau telepon itu dari cowok. Dan cowok itu pacar Weni.
“Tadi sih, Rista yang menelepon.”
“Ngapain Rista menelepon kamu?”
“Hanya iseng,” jawab Weni.
“Biar aku yang ngangkat,” kata Rangga sambil langsung mengangkat telepon.
“Haloo,” sapa Rangga.
Tak ada jawaban.
“Halo, halo, haloooo,” ulang Rangga karena orang di seberang tak menjawab.
“Siapa, Ngga?”
“Tidak tahu. Mungkin salah sambung kali.”
Baru saja telepon diletakkan. Baru saja mereka berdua duduk lagi di teras. Eh....
“Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiing!”
Telepon berbunyi lagi. Sekarang Weni yang mengangkat.
“Wen, siapa yang tadi mengangkat telepon?” tanya Rista di seberang.
“Raaaaangga.”
“Rangga? Rangga siapa? Rangga apa Ratno? Salah lihat kali kamu, Wen,” Rista jelas penasaran. Rista kaget. Rista tak percaya.
“Iya. Rangga. Rangga ketua kelas. Tuh anaknya ada di depan. Mau ngomong sama dia?” jelas Weni.
“Rangga ada di rumahmu, Wen?” Rista semakin penasaran.
“He-eh.”
“Brukkk!!!”
Dan telepon pun langsung ditutup.
Banyak cerita. Berdua. Baru berhenti saat Mama dan Papa Weni pulang kondangan. Asik juga. Malam Minggu bersama Rangga.
“Malam Minggu depan, aku main ke sini lagi ya?” janji Rangga. Terdengar indah. Seperti bunga aneka warna.
“He-eh.”
***
Betul. Sekarang Rangga menjadi pacar Weni. Tuh kan benar. Masih ada manusia baik yang mampu melihat kebaikan orang. Contohnya Rangga. Rangga ternyata lebih memilih Weni yang baik walau gendut. Bukan Rista yang cantik tapi tak pernah jujur.
Pesan Weni untuk pembaca. Jangan sampai lupa berbuat baik. Pasti ada yang menghargai kebaikan kalian. Itulah rahasia hati. Weni yakin, seyakin-yakinnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun