Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Megawati dan Jokowi

15 April 2015   09:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:05 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kondisinya berkebalikan.  Saat SBY sebagai Presiden dan Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum partai Demokrat terjadi matahari kembar.  Walau matahari yang satu masih mungin, tapi tanda-tanda kebandelannya sudah nampak.  Maka, tak ada cara lain kecuali meredupkan sinar matahri baru itu.  Sejarah bisa kita baca dengan terang benderang.

Di PDIP, Megawati sebagai ketua umum PDIP.  Dan Jokowi sebagai presiden negeri ini.  Matahari akan terlihat kembar.  Suara-suara lain mulai berani terdengar dikumandangkan.  Seakan hendak melakukan yang mirip dilakukan SBY, megawati terlihat galau dan khawatir.  Maka terbacalah upaya untuk tetap menjadi matahari tunggal.

Hanya saja, Jokowi saat ini menjadi kepala negara.  Menjadi milik seluruh bangsa.  Bukan lagi milik PDIP.  Sudah lebih besar dari partai yang pernah ikut membesarkannya.  Sehingga gerbong Mega pun seperti tersengat.  Tapi, rakyat negeri ini balik marah saat ada upaya atau sikap yang merendahkan seorang kepala negara oleh sebuah partai.  Sebuah sikap kerdil yang seharusnya tka dilakukan oleh orang besar.

PDIP dan Mega harus menyadari kalau Jokowi memang dari PDIP tapi sekarang sudah menjadi milik rakyat negeri ini.  Rakyat akan tersinggung jika presidennya dilecehkan dengan atas nama apa pun.  Apalagi kalau hanya karena kepicikan sekelompok orang yang hendak menjaga dinasti sambil berteriak-teriak tentang demokrasi.

Mega memang sebaiknya lengser.  Terlalu lama berkuasa dalam sebuah partai pasti akan membuat sebuah partai tak bisa mandiri.  Serahkan urusan partai pada yang lebih muda.  Jangan ikuti gaya Suharto yang selalu mengatakan hendak turun tapi rakyat masih menghendaki.  Apalagi, teriakan-teraiakannya tentang konstitusi yang semakin memuakkan.  Lihat saja susunan DPP PDIP yang baru dilantik yang bisa dibaca sebagai sikap anti pemberantasan korupsi.

Sebauh akhir sejarah PDIP sedang dibuat kalau sikap para punggawanya hanya tunduk manggut-manggut kepada seorang Megawati tanpa berani bersikap atas fakta yang sudah berubah.  Dan saat melihat pidato Megawati saat kongres kemarin jika dibandingkan saat wawancara dengan Najwa Sihab maka akan terlihat bagai langit dan bumi.  Satu membanggakan dengan Indonesia rayanya, satunya lagi memuakkan dengan kemarahan yang kebablasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun