Kondisinya berkebalikan. Â Saat SBY sebagai Presiden dan Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum partai Demokrat terjadi matahari kembar. Â Walau matahari yang satu masih mungin, tapi tanda-tanda kebandelannya sudah nampak. Â Maka, tak ada cara lain kecuali meredupkan sinar matahri baru itu. Â Sejarah bisa kita baca dengan terang benderang.
Di PDIP, Megawati sebagai ketua umum PDIP. Â Dan Jokowi sebagai presiden negeri ini. Â Matahari akan terlihat kembar. Â Suara-suara lain mulai berani terdengar dikumandangkan. Â Seakan hendak melakukan yang mirip dilakukan SBY, megawati terlihat galau dan khawatir. Â Maka terbacalah upaya untuk tetap menjadi matahari tunggal.
Hanya saja, Jokowi saat ini menjadi kepala negara. Â Menjadi milik seluruh bangsa. Â Bukan lagi milik PDIP. Â Sudah lebih besar dari partai yang pernah ikut membesarkannya. Â Sehingga gerbong Mega pun seperti tersengat. Â Tapi, rakyat negeri ini balik marah saat ada upaya atau sikap yang merendahkan seorang kepala negara oleh sebuah partai. Â Sebuah sikap kerdil yang seharusnya tka dilakukan oleh orang besar.
PDIP dan Mega harus menyadari kalau Jokowi memang dari PDIP tapi sekarang sudah menjadi milik rakyat negeri ini. Â Rakyat akan tersinggung jika presidennya dilecehkan dengan atas nama apa pun. Â Apalagi kalau hanya karena kepicikan sekelompok orang yang hendak menjaga dinasti sambil berteriak-teriak tentang demokrasi.
Mega memang sebaiknya lengser. Â Terlalu lama berkuasa dalam sebuah partai pasti akan membuat sebuah partai tak bisa mandiri. Â Serahkan urusan partai pada yang lebih muda. Â Jangan ikuti gaya Suharto yang selalu mengatakan hendak turun tapi rakyat masih menghendaki. Â Apalagi, teriakan-teraiakannya tentang konstitusi yang semakin memuakkan. Â Lihat saja susunan DPP PDIP yang baru dilantik yang bisa dibaca sebagai sikap anti pemberantasan korupsi.
Sebauh akhir sejarah PDIP sedang dibuat kalau sikap para punggawanya hanya tunduk manggut-manggut kepada seorang Megawati tanpa berani bersikap atas fakta yang sudah berubah. Â Dan saat melihat pidato Megawati saat kongres kemarin jika dibandingkan saat wawancara dengan Najwa Sihab maka akan terlihat bagai langit dan bumi. Â Satu membanggakan dengan Indonesia rayanya, satunya lagi memuakkan dengan kemarahan yang kebablasan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H